TUGAS INDIVIDU
PARASITOLOGI
KEDOKTERAN
JUDUL : NEMATODA USUS
OLEH :
NAMA : ODI P
SEMBOARI
NIM :
0090840007
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
CENDERAWASIH
2013
Daftar Isi
Bab I
Pendahuluan…………………………………………………………….1
Tujuan..........………………………...……………………………………......1
Bab
II………………………………………………………………………...3
Pembahasan
Nematod...........………………….……............................................................3
Nematoda secara umu.....................………………………………….............3
Nematoda Usus..................…………………………………………................4
Nematoda Usus yang
Penting bagi manusia..................……………………...5
Ascaris lumbrocoides..............................……………………………………...5
Cacing
Tambang…..................…...........……………………………………...9
Trichuris
Trichiura...........................…………………………………………23
Strongyloides
Stercoralis...........................…………………………………..27
Enterobius
vermecularis............…..............…………………………………37
Toxocara
spp........................…...…………………………………………….46
Trichinela
spiralis............................………………………………………….52
Bab III.
Kesimpulan………………………………………………………………….58
Daftar
Pustaka……………………………………………………………….59
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Salah satu ciri bangsa yang maju atau berkembang adalah
bangsa yang mempunyai pemahaman masalah kesehatan yang tinggi dengan mutu
kehidupan yang berkualitas.Negara kita merupakan salah satu negara yang
berkembang tetapi masih banyak penyakit yang menjadi masalah kesehatan di
negara kita salah satunya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah.
Cacingan ialah suatu penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai
jenis cacing yang berada di dalam rongga usus yang dapat mengakibatkan
terjadinya infeksi dalam tubuh manusia.Cacing yang hidup di dalam rongga usus
adalah kelas nematoda usus.Nematoda mempunyai jumlah spesies yang terbesar
diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Nematoda usus terbesar
adalah A.lumbricoides yang bersama-sama dengan T.trichiura, serta cacing tambang
yang sering menginfeksi manusia karena telur cacing tersebut semuanya mengalami
pemasakan di tanah dan cara penularannya lewat tanah yang terkontaminasi.
Infeksi
cacing usus ini tersebar luas di seluruh dunia baik daerah tropis maupun sub
tropis. Anak-anak lebih sering terinfeksi dari pada orang dewasa karena
kebiasaan mereka yang suka main tanah dan kurang atau belum dapat menjaga
kebersihan diri sendiri. Semua infeksi cacing usus dapat dicegah dengan
meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik,
mengerti cara-cara hidup sehat, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman
dan selalu mencuci bersih sayuran atau buah yang akan di makan.
1.2
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1.2.1 Agar mahasiswa dapat mengetahui
hospes dan nama penyakit yang disebabkan oleh nematoda usus
1.2.2
Agar mahasiswa dapat mengetahui morfologi dan daur hidup
dari spesies nematoda usus
1.2.3
Agar mahasiswa dapat mengetahui gejala klinis dan patologi
dari nematoda usus
1.2.4
Agar mahasiswa dapat mengetahui pengobatan dari penyakit
yang disebabkan oleh nematoda usus
BAB II
PEMBAHASAN
1. Nematoda
1.1 Nematoda
secara Umum
Nematoda
yang hidup sebagai parasit, merupakan jumlah spesies paling banyak. Kebanyakan
hidup bebas di air tawar, laut serta ada juga yang hidup di lumpur atau tanah
perkebunan. Cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan
hubungan hospes-parasit (host-parasite relationship).
1.Morfologi dan Daur Hidup
Besar dan panjang cacing
Nematoda beragam; ada yang panjang beberapa milimeter dan ada pula yang
melebihi satu meter. Cacing ini mempunyai kepala, ekor, dinding dan rongga
badan dan alat-alat lain yang agak lengkap.
Biasanya sistem
pencernaan, ekskresi dan reproduksi terpisah. Pada umumnya cacing bertelur,
tetapi ada juga yang vivipar dan yang berkembang biak secara partenogenesis.
Cacing dewasa tidak bertambah banyak dalam badan manusia. Seekor cacing betina
dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak 20 sampai 200.000 butir sehari.
Telur atau larva ini dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Larva biasanya
mengalami pertumbuhan dengan pergantian kulit. Bentuk infektif dapat memasuki
badan manusia dengan berbagai cara; ada yang masuk secara aktif, ada pula yang
tertelan atau dimasukkan oleh vektor melalui gigitan. Hampir semua nematoda
mempunyai daur hidup yang telah diketahui dengan pasti.
2.Pembagian Menurut Habitat
Menurut habitat (tempat tinggal cacing
dewasa), nematoda dibagi dua kelompok, yaitu nematoda usus dan nematoda darah
dan jaringan.
1.2 Nematoda Usus
Manusia merupakan hospes
beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan cara
penyebaran, nematoda usus dibagi kedalam dua kelompok, yaitu nematoda usus yang
ditularkan melalui tanah soil transmitted
heminths yaitu kelompok cacing nematoda yang membutuhkan tanah untuk
pematangan dari bentuk non-infektif menjadi bentuk infektif.
Di antara nematoda usus
terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil transmitted heminths” yang
terpenting bagi manusia adalah sebagai berikut :
1. Ascaris lumbricoides
Distribusi georafik : Kosmopolit
2. Necator americanus
Distribusi geografik : Daerah khatulistiwa, daerah
pertambangan, perkebunan
3. Ancylostoma duodenale
Distribusi geografik : Daerah khatulistiwa, daerah
pertambangan, perkebunan
4. Trichuris trichiura
Distribusi geografik : Kosmopolit (daerah panas dan lembab)
5. Strongyloides stercoralis
Distribusi geografik : Daerah subtropik dan tropik
6. Trichostrongylus. (beberapa jenisnya)
Distribusi geografik : Kosmopolit (terutama daerah
subtropik dan tropik)
Kelompok lainnya yaitu nematoda usus yang tidak
membutuhkan tanah dalam siklus hidupnya, yaitu spesies
1. Enterobius vermicularis
Distribusi geografik : Kosmopolit (lebih banyak di daerah
dingin)
2.
Trichinella spiralis
Distribusi geografik : Kosmopolit (lebih banyak di negara
pemakan sosis dari daging babi
3. Capillaria philippinensis
Distribusi geografik : Filipina dan Thailand (terutama
penduduk yang makan ikan mentah)
2
Nematoda Usus yang Penting Bagi Manusia
2.1 Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang)
1. Hospes dan
penyakit
Manusia merupakan satu-satunya yang
menjadi hospes dari Ascaris Lumbricoides
(cacing gelang).Penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris Lumbricoides disebut Askariasis.
Taksonomi Ascaris Lumbricoides, yaitu:
·
Phylum : Nematoda
·
Kelas : Secernentea
·
Ordo : Ascaridida
·
Family : Ascarididae
·
Genus : Ascaris
·
Spesies : Ascaris Lumbricoides
2.
Distribusi Geografik
Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei
yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi Ascaris Lumbricoides masih
cukup tinggi, yaitu sekitar 60-90%.
3.
Epidemiologi
Di negara Indonesia prevalensi penyakit
askariasis tinggi, terutama terjadi pada anak.Frekuensinya 60-70%.Penyakit
askariasis ini terjadi akibat kurangnya pemakaian jamban keluarga sehingga
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah
pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah.Di negara-negara
tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.
Tanah liat, kelembapan tinggi dan suhu
25-30°C merupakan kondisi
yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris
Lumbricoides menjadi bentuk yang infektif.
4.
Morfologi
Morfologi cacing A.
Lumbricoides
|
|
·
Ukuran cacing dewasa
-
Jantan
-
Betina
|
-
Panjang 15-30 cm, lebar 0,2-0,4
cm
-
Panjang 20-35 cm, lebar 0,3-0,6
cm
|
·
Umur cacing dewasa
|
1 – 2 tahun
|
·
Lokasi cacing dewasa
|
Usus Halus
|
·
Ukuran telur
|
Panjang 60-70 µm, lebar 40-50 µm
|
·
Jumlah telur/cacing betina/hari
|
± 200.000 telur
|
5.
Daur Hidup
Telur yang dibuahi berkembang menjadi
bentuk yang infektif dalam waktu kurang
lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan oleh manusia, akan
menetas dalam usus halus. Larvanya menembus dinding dari usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe, lalu di alirkan ke jantung, kemudian
mengikuti aliran darah ke paru.
Larva di paru menembud dinding pembuluh
darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudia naik ke trakea
melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga
menimbulkan rangsangan terhadap faring. Hal ini menyebabkan penderita batuk
karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam oesophagus lalu
menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa.Sejak
telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang
lebih 2-3 minggu.
6. Patologi
dan Gejala Klinik
Gejala
klinik oleh A. lumbricoides
bergantung pada beberapa hal, antara lain beratnya infeksi, keadaan penderita,
daya tahan dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing.Gejala klinik pada ascariasis dapat
ditimbulkan oleh cacing dewasa ataupun oleh stadium larva. Cacing dewasa,
tinggal di antara lipatan mukosa usus halus, sehingga dapat menimbulkan iritasi
yang mengakibatkan rasa tidak enak pada perut berupa mual serta sakit perut
yang tidak jelas.Kadang- kadang cacing dewasa dapat terbawa kea rah mulut
karena adanya kontraksi usus (regurgitasi) dan dimuntahkan keluar melalui mulut
atau hidung.Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu,
apendiks, kadang-kadang dapat masuk juga ke tuba eustachii ataupun terisap
masuk ke bronkus.
Gangguan
karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru, terutama pada orang
yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan
pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks akan
tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut
Sindrom Loeffler.
Pada
infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak sekolah
dasar.Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi
obstruksi usus (ileus).
7. Diagnosis
Cara
menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara
langsung.Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis.Selain itu
diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut
atau hidung karena muntah maupun melalui tinja.
8. Pengobatan
Pengobatan
dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Untuk perorangan dapat
digunakan beberapa obat misalnya piperasin, pirantel pamoat 10 mg/kg berat
badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. Jika terjadi
infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura. Sedangkan untuk pengobatan
masal dapat dilakukan beberapa cara diantaranya:
-
obat mudah diterima masyarakat,
-
aturan pemakaian sederhana,
-
mempunyai efek samping yang minim,
-
bersifat polivalen, sehingga berkhasiat
terhadap beberapa jenis cacing,
-
harganya murah / terjangkau.
9. Prognosis
Pada umumnya askariasis
mempunyai prognosis yang baik. Tanpa pengobatan, penyakit dapat sembuh sendiri
dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, angka kesembuhan mencapai 70-99%.
2.2
Cacing Tambang
Necator americanus
dan Ancylostoma deudonale merupakan
cacing tambang yang paling utama menginfeksi manusia namun terdapat juga Ancylostoma spp. yang menginfeksi hewan,
kemudian menginfeksi manusia contohnya Ancylostoma
caninum (anjing, kucing), Ancylostoma
braziliense (kucing, anjing), Ancylostoma
ceylanicum (anjing, kucing). Berikut penjelasan terperinci tentang
macam-macam cacing yang telah disebutkan di atas :
2.2.1 Necator
Americanus
1.
Morfologi dan Siklus Hidup
Habitat,
dalam usus terutama di daerah jejunum, sedangkan pada infeksi berat dapat
tersebar sampai ke kolon dan duodenum. Manusia merupakan hospes definitf tempat
cacing ini tidak membutuhkan tuan rumah perantara.
Cacing
dewasa yang masih hidup berwarna putih abu-abu sampai kemerah-merahan, kedua
spesies ini diatas mempunyai morfologi mirip satu sama lainnya, perbedaan
yangkhas antara lain bentuknya terutama pada cacing betina, pada Necator americanus menyerupai huruf S
sedangkan pada Ancylostoma duodenale menyerupai
huruf C. Bagian yang dapat dpakai untuk mengidentifikasi kedua cacing tambang
diatas antara lain bagian anterior, terdapat buccal capsule (rongga mulut) sedangkan pada ujung posterior cacing
jantan terdapat bursa kopulasi, suatu membran yang lebar dan jernih, berfungsi
memegang cacing betina pada waktu kopulasi pada kloaka terdapat dua buah
spikula yang dapat pula membedakan spesies cacing tambang.
Necator americanus memiliki buccal
capsule yang sempit, pada dinding ventral terdapat sepasang benda pemotong
berbentuk bulan sabit (semilunar cutting
plate) sedangkan sepasang lagi kurang nyata terdapat pada dinding dorsal.
Cacing jantan berukuran 7-9 mm x 0,3mm , memiliki bursa kopulasi bulat dengan
dorsal rays dua cabang. Didapat dua spikula yang letaknya berdempetan serta
unjungnya terkait. Cacing betina, memiliki ukuran 9-11mm x 0,4mm , pada ujung
posterior tidak didapatkan spina kaudal, vulva terletak pada bagian anterior
kira-kira pertengahan tubuh.
Bentuk
telur Necator americanus tidak dapat
dibedakan dari Ancylostoma duodenale.Jumalah
telur perhari yang dihasilkan seekor cacing betina Necator americanus sekitar 9000– 10.000.
Telur
keluar bersama tinja pada tanah yang cukup baik, suhu optimal 23-33oC,
dalam 24-48 jam akan menetas, keluar larva rhabiditiform yang berukuran
(250-300)x 17m. Larva ini mulutnya akan terbuka dan aktif memakan sampah
organik atau bakteri pada tanah sekitar tinja. Pada hari kelima, berubah
menjadi larva filariform yang infektif.Larva ini ini tidak makan, mulutny
atertutup, esofagus panjang, ekor tajam, dapta hidup pada tanah yang baik
selama dua minggu. Jika larva menyentuh kulit manusia, biasanya pada sela
antara 2 jari kaki atau dorsum pedis, melalui folikel rambut, pori-pori kulit
ataupun kulit yang rusak, larva secara aktif menembus kulit masuk kedalam
kapiler darah , terbawa aliran darah, kemudian terjadi seperti pasa Ascaris lumbricoides. Waktu yang
diperlukan dalam pengembaraan sampai ke usus halus membutuhkan waktu kira-kira
10hari.Cacing dewasa dapat hidup selama kurang lebih 10 tahun.Infeksi peroral
jarang terjadi, tapi larva juga dapat masuk ke dalam badan melalui air minum
atau makanan yang terkontaminasi.
2. Penyebaran
Kosmopolit,
terutama didaerah khatulistiwa pada daerah pertambangan.Tanah yang peling baik
untuk berkembangnya telur dan larva, yaitu tanah pasir, tanah liat atau lumpur
yang tertutup daun, terhindar darisinar matahari langsung dan juga terhindar
dari pengeringan atau basah berlebih.Terdapat diperkebunan kopi, karet serta di
pertambangan-pertambangan.Paling sering menyarang orang dewasa teruama
laki-laki.Di Indonesia lebih sering infeksi oleh Necator americanus daripada Ancylostoma
duodenale.
3. Patologi
dan Klinik
Infeksi
cacing tambang hakikatnya adalah infeksi menahun sehingga sering tidak
menimbulkan gejala akut.Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkanm
baik oleh larva maupun oleh cacing dewasa. Larva menembus kulit membentuk
maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau drew itch. Waktu larva berada dalam jumlah banyak atau pada orang
yang sensitif dapat menimbulkan pneumonitis.
Cacing
dewasa melekat dan melukai mukosa usus, menimbulkan persaan tidak enak di
perut, mual , diare. Seekor cacing dewasa menghisap darah 0,2 – 0,3ml sehari
sehingga dapat menimbulkan anemia yang progresif, hipokrom, mikrositer, tipe
defisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tempak adanya anemi.Pada
infeksi berat, Hb dapat turun sampai 2gr%, penderita merasa sesak nafas waktu
melakukan kegiatan, lemah dan pusing kepala.Terjadi perubahan pada jantung yang
mengalami hipertrofi, adanya bising katup serta nadi cepat. Keadaan demikian
akan dapat menimbulkan kelemahan jantung. Jika terjadi pada anak dapat
menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental.Infek Ancylostoma duodenale lebih berat dari Necator americanus.
4. Diagnosis
Gejala
klinis biasanya tidak spesifik sehingga untuk menegakkan diagnosis infeksi
cacing tambang perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk dapat menemukan
telur tambang didalam tinja ataupun menemukan larva cacing tambang dalam biakan
atau pada tinja yang sudah agak lama.
Beratnya
infeksi cacing tambang ditentukan bedasarkan jumlah telur dalam tinja atau
jumlah cacing betina dapat dipakai untuk patokan berdasarkan “Parasitic Disease
Programme, WHO, Geneva, 1981” dalam “The Tenth Regional Training Course
OnSoil-Transmitted Helminthiasis And Integrated Program On Family Planning
Natutrition And Parasite Control Thailand, 1986”
5. Pengobatan
Tettrachorethylen
merupakan obat pilihan untuk Necator
americanus dan cukup efektif untuk Ancylostoma
duodenale.Diberikan dalam dosis tunggal 0,10-0,12mg/kg BB, dengan dosis
maksimal 4mg. Mebendazole, dosis dan cara pengobatan
sama dengan pada trichuriasis. Albendazole dan pyrantel pamoate, dosis dan cara
pengobatannya sama dengan penderita ascariasis. Bitoskanat dengan dosisi
tunggal pada orang dewasa 150mg. Befenium hidroksinaftoat, efektif bagi kedua
spesies terutama untuk Ancylostoma
duodenale.Diberikan dengan dosisi 5gr per hari selama tiga hari
berturut-turut.
6. Pencegahan
Sama
dengan pencegahan pada penderita ascariasis dengan tambahan membiasakan diri
memakai sepatu terutama sekali waktu bekerja dkebun atau di pertambangan.
2.2.2 Ancylostoma deudonale
1. Hospes
dan Nama Penyakit
Hospes
parasit ini adalah manusia, tetapi dapat juga hewan seperti babi, kera,
harimau, dan hamster ; penyakit yang disebabkannya dinamakan ancylostoma
seperti nama genusnya.
2. Distribusi
Georgrafis
Penyebaran
cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat lain dengan keadaan
yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Pernah dilaporkan
bahwa lebih dari 500 juta manusia di seluruh dunia terinfeksi cacing ini, namun
daerah yang paling tingggi prevelensinya adalah daerah tropis yang lembab
dengan higiene sanitasi yang rendah seperti Asia Tenggara. Dilaporkan juga
bahwa daerah sub tropis, daerah yang beriklim sedang dengan kelembaban yang
sama seperti daerah tropis, mislanya di tambang-tambang, memiliki prevelensi
yang tinggi juga. Ancylostoma duodenale
juga banyak ditemukan di Afrika Utara, daerah lembah sungai Nil, India bagian
utara juga serta Amerika selatan.Ancylostoma
duodenale yang ditemukan Dubin saat ini disebut juga Old word hookworm.
3. Epidemiologi
Ancylostoma duodenale
dan
semua spesies hookworm lainnya bersama dengan ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan strongiloides stercoralis dikelompokkan sebagai cacing
yangditularkan melalui tanah ( soil transmitted helminth ), karena cara
penularannya dari satu orang ke orang lain melalui tanah. Secara descritive epidemiologi ,soil transmitted helminth biasa terdapat
didaerah beriklim tropis dan daerah beriklim sedang. Secara analytical epidemiology, dikenal
beberapa faktor yang mempengaruhi epidemiologi soil transmitted helminth. Faktor yang pertama adalah tanah. Dalam
hal ini dikenal tiga jenis tanah, yaitu : pasir atau sand ( berdiameter 0, 05 -
2 mm ), lumpur atau slit ( berdiameter 0,05 - 0,02 mm ), dan tanah liat atau
clay ( berdiameter 0,02mm - 2 µ ). Ketiga jenis tanah ini dibedakan berdasarkan
diameter partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau jumlah air yang
diperlukan untuk membuatnya lembab. Sebagai contoh untuk membuat lembab pasir
sebesar 50% dibutuhkan 10 ml air untuk setiap
3 kg, sedangkan untuk melembabkan tanah liat dibutuhkan 120 ml air per kg tanah
liat.
Faktor
kedua adalah curah hujan, karena curah hujan sangat besar kaitannya dengan
kelembaban. Pada saat curah hujan belum lebat ( misalnya pada permulaan musim
hujan ), arus air yang ditimbulkan masih lambat. Arus air yang lambat ini
merupakan perangsang bagi larva hookworm
untuk bergerak menentang arus. Bila arus air meresap ke dalam pasir, maka larva
hookworm akan bergerak ke permukaan
tanah dan mempermudah terjadinya infeksi.
Bilamana
musim hujan sudah berlangsung dan hujan turun dengan lebat, maka curah hujan
menjadi sedemikian besar dan akan menyapu seluruh larva di pasir masuk jauh ke
dalam tanah. Kejadian inilah yang menerangkan mengapa dipermulaan musim hujan
penularan hookworm lebih tinggi
daripada saat musim hujan.
Faktor
berikutnya adalah suhu udara.Suhu paling tinggi yang masih dapat ditahan oleh
larva cacing adalah 450C.Untuk larva hookworm suhunya adalah 250-300C.Khusus untuk
larva hookworm, diketahui bahwa larva
ini memiliki daya thermotaxis yaitu selalu bergerak ke suhu yang lebih tinggi,
walaupun suhu tersebut 1000C dan dapat membunuhnya.
Sehubungan
dengan faktor curah hujan dan suhu udara, diketahui bahwa kedua faktor tadi
berkolerasi erat dengan periode transmisi penyakit cacing tambang.Transmisi
yang terbaik terjadi pada musim penghujan dengan suhu udara tinggi. Faktor lain
yang mempengaruhi epidemiology soil
transmitted helminth adalah kadar oksigen, angin, sinar matahari, dan
vegetasi.
4.Morfologi
dan Daur Hidup
Telur
ancylostoma duodenale sebenarnya
sulit dibedakan dengan telur hookworm
yang lain. Oleh karena itu apabila ditemukan dalam tinja tidak pernah dikatakan
sebagai telur Ancylostoma duodenale,
tetapi disebutkan sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur yang
seirng ditemukan adalah telur muda dengan 4-8 sel morula ( unsegmented egg ) atau telur yang telah mengandung embrio. Telur ini berukuran 55-75 x 35 x 42 m,
berbentuk oval sampai elips.Dinding telur tipis terdiri dari satu lapis.Karena
tidak mungkin mengidektifikasikan spesies cacing berdasarkan telurnya, maka
biasanya orang mngkultur telur sampai menjadi larva.Dari bentuk larva ini dapat
didentifikasi spesies cacingnya.
Larva
fase pertama dari cacing ini berukuran 0,2 mm. Di bagian anterior tubuhnya
terlihat adanya buccal capsule yang
melanjutkan dirinya menjadi esofagus bertipe rhabditiform. Nampak pula adanya
genital premordial yang nantinya menjadi alat kelamin jantan atau betina.
Fase
kedua berukuran 0,4 mm dan nampak buccal
capsule-nya mulai memanjang, tetapi esofagusnya masih bertipe rhabditiform.
Oleh karena itu larva fase pertama dan kedua dinamakan larva
rhabditiform.Genital premordial masih nampak pada fase ini.Yang membedakan
larva fase pertama dan kedua adalah ditemukannya granula berwarna gelap sebagai
timbunan makanan di tubuh larva fase kedua, sebab pada fase ini larva mulai
menimbun makanan.
Larva
fase ketiga atau larva filariform mempunyai buccal
capsule dan esofagus bertipe filariform, genital premordialnya tidak dapat
ditemukan lagi. Larva filariform disebut juga restinglarva, sebab larva ini tidak makan ( mulutnya tertutup ) dan
ia memperoleh makanan dari granula yang tertimbun pada masa menjadi larva fase
kedua, sehingga pada akhir fase ini tubuhnya tampak bersih.
Secara umum karakteristik berikut dapat digunakan untuk mengidentifikasi larva ancylosotoma duodenale, yaitu : Bagian anterior tubuhnya berbentuk datar ( flat ), bentuk buccal capsule-nya tidak teratur dan tipis, bagian posterior esofagusnya lebih lebar daripada bagian anterior ususnya, nampak ada bangunan yang membatasi bagian posterior esofagus dan bagian anterior usus, bagian posterior tubuhnya tumpul, sheath ( selubung )-nya rata dan tidak tampak bergaris-garis ( striae ), genital premordialnya terletak di sebelah posterior dari pertengahan tubuhnya.
Cacing
dewasa jantan maupun betina pada bagian anterior tubuhnya memiliki 2 pasang
gigi yang dipergunakan untuk melukai host. Cacing dewasa jantan berukuran 8 -
11 mm sedangkan yang betina berukuran 10 - 13 mm. Selain ukurannya, cacing
dewasa jantan dan betina dibedakan berdasarkan ada tidaknya bursa pada bagian
posterior tubuhnya. Cacing betina dewasa tidak memiliki bursa, tetapi memiliki
sepasang ovarium yang bermuara di vulva yang terletak di bagian anterior
tubuhnya. Bursa dan rays pada cacing jantan dewasa dilengkapi dengan sepasang
spicule yang berbentuk seperti rambut. Dorsal rays pada cacing ini memiliki
tiga buah percabangan ( tripartite ).
5.Manifestasi
Klinis
Sejak
larva filariform menembus kulit, cacing ini telah menimbulkan gejala berupa perasaan gatal, erythema, dan
vesikulasi.Sebagai manifestasi dari hipersensitivitas tubuh terhadap larva yang
masuk.Timbulah eosinofilia dan hiperemia bahkan smapai terjadi edema. Keadaan
ini akan berlangsung kurang lebuh selama 2 minggu.
Pada
saat larva bermigrasi menuju paru, timbulah gangguan batuk ringan atau bahkan
asimtomatis, tetapi pada sata ini, eosinofilia terjadi pada jlebih dari 70%
penderita.
Setelah
cacing menjadi dewasa di usus timbulah
gejala lain. Namun gejala yang timbul sangat tergantung pada jumlah cacing yang
menginfeksi, lamanya infeksi, daya tahan
tubuh, dan status nutrisi penderita. Gejala yang timbul dapat berupa dispepsia,
nausea, dan perasaan tidak enak di daerah epigastrium.Pada tahap selanjutnya
dapat terjadi konstipasi atau diare dan mikrositik hipokromik anemia. Bila
telah tejadi anemia, tidak jarang dijumpai penderita menjadi geophagi ( pica ).
Hal ini dapat dimengerti mengingat seekor cacing menghisap 0,03 – 0,15 ml darah
perhari. Pada pemeriksaan patologi anatomi dijumpai hemorrhagi, inflamasi, atau
uleus di mukosa usus.
Pada
infeksi kronis, penderita menjadi malnutrisi, hipoproteinomia dan anemia yang
berat yang mengakibatkan cardiomegali.Infeksi kronis pada anak-anak tidak
jarang menimbulkan gangguan pertumbuhan dan kemunduran mental.
6.Pencegahan
Maka cara
pencegahan cacing tambang adalah :
-
Pencegahan terjadinya kontaminasi tanah
dengan tinja misalnya dengan pembunatan jamban yang memenuhi syarat kesehatan
-
Perlunya penekanan tentang bahaya
penggunaan tinja sebagai pupuk.
-
Penyuluhan kesehatan bagi masyarakat.
-
Melakukan survei prevalensi kecacingan
terutama didaerah yang endemis termasuk survei tanah yang terkontaminasi.
7.Pengobatan
Obat
pilihan untuk ancylostomiasis adalah Mebendazole, namun dapat juga digunakan
Albendazole, Flebendazole ataupun Alcopara ( Bephinium ). Berhubung kebanyakan penderita
ancylostomiasis mengalami anemia, maka pengobatan dengan preparat besi sangat
dianjurkan. Biasanya bila kadar Hb sangat rendah lebih baik mengobati anemianya
dahulu sebelum memberikan obat cacing. Disamping itu bila terjadi infeksi
campuran dengan cacing Ascaris
lumbricoides, sebaiknyha cacing ini dimusnahkan terlebih dahulu sebelum
mengobati ancylostomiasis, sebab bila tidak Ascaris
lumbricoidesakan sangat teriritasi dan menimbulkan migrasi abnormal.
2.2.3.Ancylostoma
caninum
Kingdom:
|
Animalia
|
Phylum :
|
Nematoda
|
Class :
|
Secernentea
|
Order :
|
Strongylida
|
Family :
|
Ancylostomatidae
|
Genus :
|
Ancylostoma
|
Species :
|
Ancylostoma caninum
|
Ancylostoma
caninum adalah soil transmitted helmith pada hewan yang
dapat menimbulkan penyakit pada manusia, yang mana dapat menyebabkan cutaneous
larva migrans. Cutaneous larva migrans yang disebut juga sebagai creeping
eruption adalah suatu sindroma pada manusia berupa lesi pada kulit yang terjadi
akibat migrasi larva Ancylostoma braziliense dan Ancylostomacaninum.
1. Morfologi
dan Siklus Hidup
Cacing
dewasa Ancylostoma caninum mempunyai predeleksi pada mucosa usus halus
anjing, rubah, anjing hutan, serigala dan carnivore liar lainnya di seluruh
dunia. Ancylostoma caninum memiliki 3
pasang gigi, Cacing jantan berukuran 11 – 13 mm dengan spikulum dan cacing
betina berukuran 14 – 21 mm. Cacing betina dewasa meletakkan rata-rata 16.000
telur setiap harinya. Host terinfeksi oleh cacing ini secara peroral maupun
perkutan. Setelah larva tertelan akan masuk ke kelenjar lambung atau kelenjar
Lieberkuehn pada usus halus dan berada disana untuk beberapa hari, selanjutnya
kembali pada lumen usus halus dan menjadi dewasa. Bila masuknya larva per
cutan, maka akan terjadi lubang-lubang di jaringan sampai mencapai pembuluh
darah atau pembuluh limfe, selanjutnya melalui sistim vena atau saluran limfe
thoraks menuju jantung dan paru-paru, selanjutnya menembus kapiler menuju
alveoli, naik melalui bronchioli dan bronchi menuju faring serta oesophagus,
selanjutnya turun kembali ke usus halus dan menjadi dewasa. Larva membutuhkan
waktu 58 – 66 jam untuk mencapai stadium infektif pada 30°C atau 9 hari pada
suhu 18°C. Telur keluar bersama feses 15 – 18 hari setelah infeksi pada anjing
muda dan 15 – 26 hari pada anjing yang lebih tua. Cacing dewasa dapat hidup
beberapa bulan sampai 2 tahun. Infeksi pre natal dapat terjadi jika terinfeksi melalui
colostrum.
2. Patogenesa
Larva
Ancylostoma caninum akan menginfeksi
manusia melalui kulit. Sering terjadi
pada anak-anak, pekerja pada bidang pertanian atau wisatwan yang kontak
langsung dengan tanah berpasir yang berada dibawah pohon dan tempat teduh yang
serinng didatangi oleh anjing dan kucing untuk buang air besar, sehingga dapat
menyebakan cutaneous larva migrans. Dengan demikian tempat tersebut menjadi
lingkungan yang tercemar larva cacing tambang hewan, sehingga merupakan sumber
infeksi bagi manusia. Selanjutnya larva migrasi melalui jaringan subcutan
membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya. Lesi
yang ditimbulkan erithematous, elevasi dan vesicular. Lesi ini sangat gatal,
setelah 2 – 3 hari larva akan membentuk terowongan di bawah kulit dalam jaring
germinativum. Pergerakan larva di bawah kulit berkisar 2 – 3 mm per hari. Kulit
dibagian atasnya biasanya mengering dan keras dan terasa gatal sehingga dapat
menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan.
Larva
ini tidak dapat menembus kulit di bawah epidermis dari manusia sehingga larva tersebut
tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya, akibatnya selamanya larva
ini terjebak di jaringan kulit manusia penderita hingga masa hidup dari cacing
ini berakhir.
3. Diagnosa
Diagnosa
terhadap Cutaneous larva migrans ini dapat dilakukan dengan hanya melihat
gejala klinisnya berupa adanya bintik merah menonjol yang gatal kemudian
menjadi memanjang dan berkelok – kelok membentuk alur di bawah kulit dan
riwayat penderita.
4. Pengobatan
Walaupun
dapat sembuh dengan sendirinya setelah beberapa bulan tetapi rasa gatal yang
ditimbulkan sangat mengganggu dan meningkatkan resiko infeksi sekunder oleh
bakteri yang dipicu karena garukan.
Thiabendazole
merupakan anthelmintik pilihan. Selain itu albendazole, membendazole,
ivermectin dapat dipakai sebagai alternatifnya
5. Pencegahan
Upaya
yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya creeping eruption diantaranya
adalah menghindarkan anak – anak bermain dengan pasir atau tanah yang mungkin
tercemar oleh larva cacing penular. Kesadaran masyarakat akan kebersihan dan
pentingnya memakai alas kaki harus ditingkatkan. Dengan memakai alas kaki, akan
dapat mengurangi resiko masuknya larva cacing ke dalam tubuh. Juga keberadaan
anjing dan kucing liar sebaiknya dipantau, karena kedua hewan ini sangat
berpeluang untuk menularkan penyakit ini
2.2.4
Ancylostoma braziliense
1. Hospes dan Nama Penyakit
Kucing
dan anjing merupakan hospes definitif. Cacing ini meneyebabkan creeping eruption pada manusia.
2. Distribusi
Geografik
Parasit
ini ditemukan didaerah tropik dan subtropik; juga ditemukan di Indonesia. Dari
pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% A.braziliense, sedangkan pada sejumlah
anjing terdapat 18% A.braziliense.
3. Morfologi
A.braziliense mempunyai
dua pasang gigi yang tidak sama besarnya. Panjang cacing jantan 4,7-6,3 mm dan
cacing betina 6,1-8,4 mm.
4. Patologi dan Gejala Klinis
Siklus
hidupnya di tubuh anjing dan kucing adalah sama seperti siklus hidup hookworm pada manusia. Cacing kelompok
ini tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya pada tubuh manusia dan hanya
berakhir di dermis saja.
Pada
manusia, larva larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang
disebut creeping eruption, dan creaping disease atau cutaneous larva migrans.
Creeping eruption
adalah dermatitis dan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa,
yang anatara lain disebabkan Ancylostoma
braziliense. Pada tempat larva filariform menembus kulit terjadi papel
keras, merah dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan
sempit, yang nampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan
bertambah panjang sesuai gerakan larva di dalam kulit. Sepanjang garis yang
berkelok-kelok, terdapat vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kilit digaruk.
Di
Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping eruption yang terdiri dari orang
dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama ditemukan pada kaki penderita dan juga pada lengan bawah,
punggung dan bokong.
6. Diagnosis
Diagnosis
creeping eruption ditegakkan dengan gambaran klinis yang khas pada kulit dan
biopsi.
7. Pengobatan
Pengobatan
dilakukan dengan semprotan kloretil dan Albendazol 400mg selama 3 hari berturut-turut. Pada anak
di bawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2%.
2.2.5. Ancylostoma ceylanicum
1. Hospes
dan Nama Penyakit :
Terutama
menginfeksi hewan, misalnya pada anjing dan kucing tetapi dapat menjadi dewasa
pada manusia. Nama penyakitnya ancylostomiasiszoonosis .
Ancylostomaceylanicumadalahsatu-satunya spesieshewancacing
tambangdikenal untuk menghasilkanpateninfeksipada manusia.Initelah
dibuktikansecaraeksperimental dan alami.
2. Distribusi
Geografik:
InfeksialamidenganA.ceylanicumtelah dilaporkan kembali di belanda.DariPapua New Guniea, yang menderita
infeksi beratbersamaan dengan anemia, sementarainfeksiringansebagian
besar terjadi pada manusia di negara Filipina, Taiwan, Thailanddan India. Baru-baru ini, ancylostomiasiszoonosisyang
disebabkan olehA.ceylanicumdilaporkandalammasyarakat pedesaandi Thailanddan
pedesaanmasyarakatdi Laosmenggunakan alat diagnostik molekuler.
Meskipun infeksicacing tambangadalah umum, terutama
di pedesaandan daerah terpencildi Malaysia, informasi
mengenaispesiesdaricacing tambangpada manusiadan hewandomestiksaat ini kurang.
3. Morfologi
dan Siklus Hidup :
Di
rongga mulu terdapat dua pasang gigi yang tidak sama besar. siklus hidupnya di
tubuh anjing dan kucing sama seperti siklus hidup hookworm pada manusia. Cacing ini tidak dapat melanjutkan
pertumbuhannya pada manusia dan hanya berakhir di dermis saja.
4. Manifestasi
Klinis:
Manifestasi
utamanya adalah kelainan kulit berupa papula berwarna kemerahan yang gatal dan
timbul beberapa jam setelah masuknya larva ke dalam kulit dengan membentuk
terowongan-terowonganyang makin luas
dengan pergerakkan beberapa milimeter sampai beberapa centimeter setiap
harinya. Sekeliling jaringan kulit menjadi oedema, sedangkan tempat permulaan
infeksi akan berkerak.
Perasaan
gatal yang ditimbulkan menyebabkan penderita selalu menggaruk hingga luka, dan
tidak jarang di ikuti dengan infeksi sekunder. Namun pada umumnya larva akan
mati di jaringan kulit dalam beberapa minggu sampai satu bulan dan penyakit
akan sembuh dengan sendirinya.
5. Pengobatan
:
Thiabendazol
secara oral dan topikal.
2.3
Trichuris
Trichiura
Trichuristrichiura,
Biasa disebut trichocephalus dispar atau lebih dikenal dengan nama cacing
cambuk, karena secara menyeluruh bentuknya seperti cambuk. Hingga saat ini
lebih dikenal lebih dari 20 spesies trichuris spp, tetapi yang menginfeksi
manusia hanya trichuris trichiura dan trichuris vulpis. Cacing ini dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia bila menginfeksi dalam jumlah yang
banyak.
1.
Taksonomi
Filum :nemathelminthes
Kelas :Nematoda
Subkelas :adhenophorea
Ordo :epoplida
Superfamily :trichinellidae
Family :trichuridae
Genus :Trichuris
Spesies :trichuristrichiura
(linaeus : 1771), (Jeffry HC dan Leach RM,1983)
2. HospesdanNamaPenyakit
Manusia
merupakan hospes definitif
utama pada cacing cambuk, walaupun kadang-kadang terdapat juga pada hewan seperti
babi dan kera. Penyakit yang disebabkan disebut trichuriasis atau
trichocepaliasis.
3.
Distribusi
Geografik
Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan di
daerah panas dan lembab seperti di
Indonesia
4.
Epidemiologi
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah
kontaminasi tanah dengan tinja.Telur tumbuh di tanah liat, lembap dan teduh
dengan suhu optimujm 300 C. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan
sumber infeksi.Frekuensi di Indonesia tinggi.Di beberapa daerah pedesaan di
Indonesia frekuensinya berkisar 30-90%.
Di daerah yang sangat endemik, infeksi dapat dicegah
dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan
tentanjg sanitasi dan kebersihan perorangan terutama anak.Mencuci tangan
sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi
di negeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
5.
Morfologi
Panjang cacing betina kira-kira 5cm, sedangkan cacing
jantan kira-kira 4cm. bagian anterior lansing seperti cambuk, panjangnya
kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih
gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul.Pada cacing jantan mlingkar
dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon ascenden dan sekum
dengan bagian anteriornya seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-20.000 butir
Tabel 1.1 karakteristikTrichurisTrichiura
Karakteristik
|
Trichuristrichiura
|
Ukurancacingdewasa
|
|
Jantan
|
30-45 mm
|
Betina
|
35-50
mm
|
Telur
|
Panjang
50-55µm
Lebar 22-24
µm
|
Lokasicacingdewasa
|
Sekumdankolonasenden
|
Jumlahtelur/hari/cacingbetina
|
3000-20000
butir
|
6.
Siklus
Hidup Trichuris Trichiura
Cacing dewasa menyerupai cambuk sehingga disebut
cacing cambuk. Tiga per-lima bagian interior tubuh halus seperti benang, pada
ujungnya terdapat kepala (trix = rambut, aura = ekor, cephalus = kepala), esophagus
sempit berdinding tipis terdiri dari satu lapis sel, tidak memiliki bulbus
esophagus. Bagian anterior yang halus ini akan menancapkan dirinya pada mukosa
usus. 2/5 bagian posterior lebih tebal, berisi usus dan perangkat alat kelamin.
Cacing jantan memiliki
panjang 30-45mm, bagian posterior melengkung kedepan sehingga membentuk satu
lingkaran penuh.Pada bagian posterior ini terdapat satu spikulum yang menonjol
keluar melalui selaput retraksi.Cacing betina panjangnya 30-50mm ujung
posterior tubuhnya membulat tumpul.Organ kelamin tidak berpasangan (simpleks)
dan berakhir di vulva yang terletak pada tempat tubuhnya mulai menebal.
Telur, berukuran 50x25m, memiliki bentuk seperti tempayan,
pada kedua kutubnya terdapat operculum, yaitu semacam penutup yang jernih dan
menonjol. Dindingnya terdiri atas dua lapis, bagian dalam jernih, bagian luar
berwarna kecoklat-coklatan. Sehari, tiap ekor cacing betina menghasilkan
3000-4000 telur ; telur ini terapung dalam larutan garam jenuh.
Telur yang keluar bersama
tinja, dalam keadaan belum matang (belum membelah) tidak infektif.Telur
demikian ini perlu pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk
telur infektif yang berisi embrio di dalamnya. Dengan demikian, cacing ini
termasuk “ Soil Transmitted Helmints” tempat tanah berfungsi dalam pematangan
telur.
Manusia mendapat infeksi
jika telur yang infektif tertelan.Selanjutnya di bagian proksimal usus halus,
telur menetas, keluar larva, menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing
akan turun ke usus besar dan menetap dalam beberapa tahun. Jelas sekali bahwa
larva tidak mengalami migrasi dalam
sirkulasi darah ke paru-paru.
Waktu yang diperlukan sejak
telur infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan telur, 30-90 hari.
Trichuris trichiura merupakan siklus langsung karena keduanya tidak membutuhkan
tuan rumah perantara.
GAMBAR : A. Siklus hidup T.
trichiura di dalam tubuh manusia.
B. Siklus hidup T. trichiura di tanah.
C. Morfologi cacing dewasa jantan dan
betina.
7. Gejala
Klinis dan Patologi
Cacing Tricuris pada manusia terutama hidup di
sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asedens. Pada infeksi berat,
terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum.Kadang-kadang
terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita
pada waktu defekasi.Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus,
hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa
usus.Ditempat pelekatannya dapat terjadi perdarahan.Disamping itu cacing ini
juga menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Tricuris yang berat dan menahun,
menunjukann gejala diare yang sering diselilingi sindrom disentri, anemia,
berat badan menurun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.
Infeksi berat Tricuris
trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.
Infeksi ringann biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama
sekali tanpa gejala. Parasit sering ditemukan pada pemeriksaan tinja secara
rutin.
8.
Pengobatan
Albendazol 400mg (dosis tunggal)
Mebendazol
100mg (dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut)
2.4
Strongyloides Stercoralis
1. Defenisi
Strongyloides adalah spesies yang
terdapat secara luas dinegara tropis dan subtropis, penyebab strongyloidiasis
pada manusia dan hewan peliharaan. Disebut juga strongyloides intestinalis.
Dulu disebut juga anguillula intestinalis atau anguillula stercoralis.
2.
Hospes dan Distribusi
Manusia merupakan hospes utama cacing ini, walaupun
sebagian ada yang ditemukan pada hewan. Cacing ini tidak mempunyai hospes
perantara.penyakit yang disebabkan dari infeksi cacing ini disebut strongyloidiasis.
3. Taksonomi
a. Phylum : Nemathelminthes
b. Kelas :
Nematoda
c. Sub kelas :
Secernantea
d. Ordo
: Rhabditida
e. Super famili : Rhabditidae
f. Famili :
Strongyloididae
g. Genus : Strongyloides
h. Spesies :
Strongyloides Stercoralis
4. Morfologi
a. Bentuk
bebas (free living form) :
-
Betina :
ukuran kurang lebih 1 x 0,05 mm,esofagus kurang lebih ¼ panjang tubuh sera
pendek dan terbuka,uterus berupa satu goresan yang lurus yang berisi 40-50
telur. Vulva terbuka disebelah ventral dekat dengan pertengahan tubuh.
-
Jantan : Cacing jantan memiliki panjang ± 1 mm,
dengan ekor melingkar dengan spikulum, dan esofagus pendek dengan dua bulbus.
Fusiform, ukuran 0,7 x 0,07 mm. Esofagus tertutup,memiliki 2 spikula dan 1
gubernakulum, ujung ekor runcing dan melengkung.
b.
Bentuk parasitik
-
Betina : halus dan transparan ,ukuran
2,2 x 0,05 mm, esofagus filiform ¼ panjang tubuh. Pada wanita gravid uterus
berisi 10-20 telur yang mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral 1/3 posterior panjang tubuh.
-
Jantan : menurut kreist (1932) dan faust
ada bentuk parasitik jantan paada manusia yang morfologinya sama dengan
morfologi jantan benruk bebas (free living). Namun belum ada peneliti yang menemukan bentuk
parasitik jantan ini selain kreist dan faust.
c.
Larva Rhabditiform
Ukuran
kurang lebih 380 x 20 µ, esofagus pendek dan terbuka, genital primordium besar
dan ovoid terletak diventral dekat intestinal. Mempunyai ekor kucing.
d.
Larfa filariform
Ukuran
kurang lebih 630 x 16 µ, mulut tertutup, esofagus ½ panjang badan, ujung ekor bercabang dua
pendek (fork tail) atau tumpul saja, dan
tidak mempunyai sarung.
5. Daur
Hidup
Siklus
hidup strongiloides stercoralis cukup
kompleks dengan adanya pergantian antara siklus tidak langsung (siklus
bebas/indirect cycle) dan siklus langsung ( siklus parasitik/ direct
cycle),serta adanya potensi autoinfeksi dan multiplikasi dalam tubuh hospesnua.
Siklus hidup cacing ini adalah sebagai berikut :
1)
Siklus langsung(siklus bebas/indirect
cycle)
Sesudah
2 sampai tiga hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x
16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan
merupakan benruk infektif. Panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila menembus kulit
manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui
jantung kanan sampai ke paru. Dari paru
parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea dan
laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit
tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Larva
juga dapat menginfeksi dengan cara tertelan langsung. Cacing betina yang dapat
bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi.
2) Siklus
tidak langsung
Pada
siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan
dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk yang berisi ini lebih gemuk dari
bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan
berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah
spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas
menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dpat
menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau
21larva rabditiform tersenut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus
langsung ini sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan
yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.Siklus tidak langsung ini
terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan
keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di
negeri-negeri tropic dengan iklim lembab.
3)
Autoinfeksi
-
Autoinfeksi internal
Terjadi terutama pada
hospes yang mengalami gangguan obstipasi. Pada autoinfeksi internal, larva
rhabditiform dalam lumen usus tumbuh menjadi larva filariform. Larva ini
menembus mukosa usus, masuk kepembuluh darah kapiler kemudian kejantung lalu
keparu dan seterusnya melanjutkan siklus hidup.
-
Autoinfeksi eksternal
Daerah perianal hospes
terkontaminasi larva rhabditiform saat hospes defekasi , lalu larva ini tumbuh
menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus kulit perianal
dan masuk kedalam pembuluh darah kapiler.
6. Epidemiologi
Daerah
yang panas, kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang,sangat menguntungkan
cacing strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung . tanah
yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur,berpasir,dan humus.
Frekuensi di jakarta pada tahun 1956
sekitar 10-15% sekarang jarang dirtemukan. Pencegahan strongyloidiasis terutama
tergantung pada sanitasi pembuangan tin ja dan melindungi kulit dari tanah yang
terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
Distribusinya
luas diseluruh duni terutama di daerah beriklim tropis dengan sub tropis dan
dapat juga ditemukan beriklikm sedang. Pada umumnya distribusi terbatas di
daerah cuaca berhangat dan lembap karena merupakan situasi yang cocok untuk
perkembangan hidup larva S.Stercoralis.namun oleh karena gejalanya yang sering
subklinis dan masa hidupnya yang cukup lama ( Interval lima tahun, bahkan
pernah dijumpai satu kasus cacing ini dapat parasitik pada manusia selama enam
puluh lima tahun) maka seseorang dapat terinfeksi di daerah beriklim hangat
lalu berpindah tempat ke daerah beriklim dingin dan menjadi carier infeksi
S.Stercoralis bahkan tanpa menyadarinya.infeksi lebih sering dijumpai di area
pedesaan.oleh karena kontak petani dengan tanah serta pada kelompok-kelompok
masyarakt sosial ekonomi rendah.
7. Gejala dan Patologi
Pada orang
normal gejala biasa sangat ringan atau tidak ada sama sekali. Infeksi berat
(disseminated infection) dapat terjadi pada penderita dengan diabetes melitus,
kurang gizi atau pada pasien dengan keadaan imunosupresi. Pada penderita yang
mendapat terapi dengan kortikosteroid, obat imunosupresi atau yang menderita
leukemia,limfoma,infeksi menahun, luka bakar dan gizi salah, bisa didapatkan
sindrom hiperinfeksi strongylodiasis yang ditandai dengan masuknya larva
filariform yang menimbulkan lesi di paru, kolon, hati dan alat lain. Gejala
klinik terutama mengenai tiga organ tubuh yaitu kulit, paru, dan usus.
a. Kulit
Pada
waktu larva menembus kulit terjadi reaksi ringan, dengan gejala pruritus dan
eritema bila larva yang menembus kulit itu jumlahnya besar. Bila infeksi
terjadi berulang kali, penderita dapat membentuk reaksi alergi yang dapat
mencegah parasit tersebut melengkapi daur hidupnya. Pergerakan larvanya dihambat, hingga
migrasinya hanya terbatas pada kulit saja dan disebut larva migrans. Istilah
larva currens (racing larva) dipakai untuk kasus strongyloidiasis dengan satu
atau lebih alur urtikaria yang progresif dan dimulai pada daerah perianal.
b. Paru
Migrasi
larva ke paru dapat merangsang timbulnya gejala, tergantung dari banyaknya
larva yang ada dan intensitas respon imun hospesnya. Ada yang asimtomatik,
adapula yang disertai dengan pneumonia. Pada infeksi berat atau pada sindrom
hiperinfeksi, dapat disertai batuk-batuk, napas pendek, sakit di dada, disertai
bunyi pernafasan asthmatic whizzing (mengi) sampai berakibat fatal. Larva
filariform dapat ditemukan di dalam sputum
pada umumnya gambaran radiologi thorax adalah infiltrate bilateral atau
fokal interstitial. Kadang-kadang ditemukan hemoragi alveolar. Terjadi hiperemi
mukosa bronkus, trakea dan larings. Pada biopsy paru tampak larva disertai
tanda-tanda peradangan.
c. Usus
Gejala-gejala
sakit perut, muntah dan diare ditemukan pada penderita-penderita bilamana
terdapat banyak cacing dewasa dan larva di dalam mukosa usus. Terjadilah
kerusakan mukosa usus yang hebat
sehingga gambaran jaringannya berubah menjadi honeycomb feature. Biasanya
kerusakan terjadi pada bagian proksimal usus halus akan tetapi kadang-kadang
kerusakan ditemukan pada gaster. Gambaran radiologi mneyerupai penyakit Crohn.
Walaupun
dikatakan infeksi menahun disebabkan oleh sindrom malabsorbsi, tetapi Gracia dkk
menemukan bahwa malabsorbsi hanya terjadi pada kasus yang disertai dengan
protein malnutrisi berat, keadaan ini dapat diperbaiki dengan mengatasi protein
malnutrisi tanpa mengobati infeksi cacing tersebut. Pada infeksi menahun cacing
dewasa dapat menginvasi lambung dan menimbulkan gastritis, mungkin disertai
ulserasi hepatitis granulomatosa yang
disebabkan oleh karena infeksi.
Gambaran
darah pada permulaan gejala usus menunjukkan adanya leukositosis dengan
eusinofili sampai 50 – 70 % pada beberapa kasus. Akan tetapi karakteristik
infeksi menahun adalah terjadinya penurunan jumlah eusinofil. Strongyloidiasis
dapat menetap sampai beberapa tahun. Beberapa diantaranya berlangsung sampai
lebih dari 30 tahun sebagai akibat kemampuan larvanya untuk menimbulkan autoinfeksi.
Selain
strongyloidiasis usus halus, dalam waktu yang sama dapat juga terjadi invasi
dinding usus besar. Seseorang pernah menderita strongyloidiasis usus menahun
selama 5 tahun, biasanya tanpa gejala hanya kadang-kadang disertai dengan
ucerative invasive colitis. Gejala ucerative invasive colitis ini timbul dan
hanya berlangsung 1 bulan sebelum pemberian terapi kortikosteroid kemudian
penderita meninggal pada bulan berikutnya karena hiperinfeksi.
d. Hiperinfeksi
Autoinfeksi
mungkin merupakan mekanisme terjadinya strongyloidiasis pada manusia dalam
jangka panjang dan menetap bertahun-tahun setelah seseorang meninggalkan daerah
endemik. Mekanisme kekebalan hospes dan mekanisme reproduksi parasit berada
dalam keadaan seimbang sehingga tidak terjadi kerusakan berarti. Bila oleh
karena suatu hal terjadi kerusakan pada kekebalan seluler, maka keseimbangan
terganggu dan terjadi infeksi yang bertambah hebat sejalan dengan dihasilkannya
larva dalam, jumlah yang sangat banyak, yang mengadakan penetrasi ke seluruh
jaringan tubuh. Kedaaan malnutrisi, lepra lepromatosa, kanker, luka bakar dalam
stadium berat, radiasi sirosis dan kerusakan kekebalan seluler seperti
hipogamaglobulinemia dapat menyebabkan hiperinfeksi dan resisten terhadap
pengobatan spesifik. Akhir-akhir ini karena kebiasaan penggunaan obat-obat
adrenokortikosteroid dan immunosupresi lain, hiperinfeksi lebih sering terlihat
dan menjadi suatu peringatan penting dalam pengobatan. Selanjutnya HIV / AIDS
adalah penyakit yang dapat disertai strongyloidiasis invasi.
Walaupun
ada gangguan pada rekasi jaringan, termasuk mengurangnya pembentukan
granuloma, kerusakan yang disebabkan
oleh sejumlah cacing yang berlebihan menyebabkan ulserasi dan nekrosis usus
kecil dan usus besar, ileus paralitik dan bahkan perforasi. Migrasi ke dalam
paru menyebabkan pneumonitis disertai dispnea, sianosis dan batuk.Kegagalan
pernapasan yang menyerupai keadaan oedem paru sering dijumpai.Infiltrasi
noduler sering terlihat pada foto rontgen thorax.Dapat disertai hemoptisis.Terkenanya
susuna saraf pusat dapat menimbulkan retargi yang progresif, koma, dan kematian. Meningitis, infark dan
abses pada otak yang berhubungan dengan strongylidiasis diseminata pernah
dilaporkan .
Umumnya
pada strongylodiasis menahun dan larva currens prognosis.Pada kasus
hiperinfeksi massiv prognosis sangat buruk.Menghilangnya eosinofil secara umum
menunjukkan tanda memburuknya prognosis.
8. Diagnosis
Diagnosis
klinis tidak pasti karena strongyloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang
nyata.Diagnosis pasti adalah dengan menemukan cacing dewasa, larva dan atau
telur dalam tinja, cairan asprasi duodenum dan atau sputum.Strongyloidiasis
usus dapat diduga dari adanya diare yang terus-menerus disertai lendir, sakit
dibagian atas perut dan adanya eusinofilia yang tinggi. Pemeriksaan tinja lebih
berhasil bila dilakukan dengan cara konsentrasi Bayermann dan formalin – ethyl
asetat. Sepertinya teknik Harada – Mori dengan kertas filter lebih baik
hasilnya untuk cacing tambang.
Cara
lebih baru untuk berdiagnosis infeksi strongyloides dengan metode biakan tinja
dengan mempergunakan lempeng agar. Kurang lebih 3 gram tinja diletakkan pada
permukaan lempeng agar yang biasanya digunakan untuk biakan bakteri dan
diinkubasi selama 2 sampai 3 hari pada
suhu 28°C. setelah masa inkubasi permukaan lempeng agar diperiksa dengan
mikroskop. Dinyatakan positif larva strongyloides bila terlihat garis
berkelok-kelok, tanda pertumbuhan bakteri sepanjang jejak larva yang
bergerak.Cara ini sangat efektif karena lebih dari 96% kasus yang positif dapat
didiagnosis dengan metode ini.
Tes
immunodiagnostic untuk strongyloidiasis dipertimbangkan bilamana diagnosis
infeksi tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan tinja berulang-ulang atau
dengan pemeriksaan cairan aspirasi duodenum. Beberapa tes immunodiagnosis telah
dibandingkan yaitu suatu homemade enzyme – limited immunosorbent assai (ELISA)
(Academic Medical Center ELISA [AMC –
ELISA]) dan suatu esei dipstik untuk mendeteksi zat anti strongyloides
stercoralis di dalam serum yang kemudian dibandingkan dengan 2 tes yang
didapatkan di pasaran yaitu ELISAs (IVD – ELISA [IVD research, Inc] dan Bordier
– ELISA [Bordier Affinity Product SA]) yang digunakan untuk serodiagnosis
strongyloidiasis. Kedua jenis ELISA yang
didaptkan di pasaran sebelumnya belum dievaluasi.Disini sensitifitas esei
dinilai dengan menggunakan serum 90 pasien yang telah terbukti menderita
strongyloidiasis intestinal dan serum 9 pasien dengan clinical larva currens.
Sensitifitas AMC – ELISA , dipstick assai, IVD – ELISA dan bordier ELISA
berturut-turut 93, 91, 89, dan 83 % untuk strongylodiasis intestinal sedangkan
8 diantara 9 serum dari penderita larva currens adalah positif. Spesifisitas
dievaluasi dengan menggunaan 220 spesimen serum yang berasal dari penderita
berbagai macam infeksi seperti infeksi parasitic, bakteri, virus, dan
jamur.Selanjutnya juga sampel serum yang mengandung antibody autoimun, dan
serum dari donor darah yang sehat. Spesifisitas AMC – ELISA, dipstick assay,
IVD – ELISA, dan Bordier – ELISA adalah berturut-turut 95,0 97,7 , 97,2 , dan 97, 2 %. Ternyata keempat
esei merupakan tes sensitif dan spesifik untuk diagnosis strongylodilasis
intestinal maupun kutan.
Tes
radioallertgosorbant (RAST) disimpulkan
bahwa sebagian besar penderita memproduksi antibody IgE terhadap antigen larva
filariform. Penemuan ini dianggap sebagai pelengkap evaluasi immunologi pada
pasien strongylodiasis.
9. Pengobatan
Karena
S.Stercoralis sangat potensial menimbulkan gejala menahun atau autoinfeksi
selama beberapa tahun atau autoinfeksi selama beberapa tahun dan sindrom
hiperinfeksi, maka semua penderita yang terinfeksi harus diberikan Ivermektin
0,2 kg/BB selam 1-2 hari dengan interval dua minggu. Ivermektin merupakan
antihelmintik yang mengikat diri kepada jalur ion sel saraf dan otot
invertebrata.
Pada
pasien yang mendapat pengobatan imunosupresif. Pengobatan perlu diperpanjang
dan kadang-kadang tidak berhasil untuk itu perlu diberikan dua kombinasi macam
obat yaitu antihelmintik seperti invermektin dan albendazol,disertai
antibiotik. Untuk hiperinveksi dapat diberikan invermektin ( 200 mg/kg BB ) sekali
seminggu selama empat minggu. Pengobatan untuk hiperinveksi lebih baik
dilakukan di ruang gawat intensif karena pasien lebih mudah di pantau mengenai
perubahan status fisisologi dan laboratorium. Dahulu pengobatan spesifik dengan
thiabendazole harus diberikan minimum lima hari. Walaupun ada beberapa obat
lain yang pernah di berikan dalam penelitian seperti mabendazole akan tetapi
sampai saat ini obat tersebut tidak di anjurkan untuk pengobatan
strongyloidasis. Hasil pengobatan perlu di pantau dengan melakukan berkali-kali
pemeriksaan tinja.
Efek
samping invermektin anoreksia,nausea,diare,gatal,dan ngantuk sedangkan
Albendazol nausea dan diare. Pada umumnya efek samping adalah sementara dan
dapat di atasi angka penyembuhan tergantung dari pada beratnya kasus, dosis dan
lama pengobatan sedangkan kadang-kadang diperlukan lebih dari
antihelmintik.Tehnik pemeriksaan untuk keperluan diagnostik juga mempengaruhi
tingginya angka penyuluhan. Enzim imunoaxxay ( EIA ) yang telah dikembangkan
oleh CDC,dapat digunakan sebagai markers keberhasilan pengobatan terhadap
strongyloidasis. Angka serologi dan jumlah eosinofilik berkurang setelah
sekelompok penderita strongyloidasis diberi terapi.
10. Prognosis
Infeksi berat pada
strongyloidiasis dapat menyebabkan kematian.
2.5 Enterobius
Vermicularis
1.
Hospes
dan Nama Penyakit
Manusia adalah satu-satunya hospes.Penyakit yang
disebabkan oleh Enterobius vermicularis disebut enterobiasis, oksiuriasis,
infeksi cacing kremi.
2.
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Cecernentea
Subclass : Rhabditia
Ordo : Rhabditia
Subordo : Rhabditina
Superfamili : Oxyuroidea
Famili : Oxyuridae
Genus : Oxyuris atau
Enterobius
Spesies : Oxyuris
vermicularis atau Enterobius vermicularis
3.
Epidemiologi
Enterobius vermicularis banyak terjadi di seluruh
dunia dan penyebarannya kosmopolit.Kasus yang disebabkan oleh E. vermicularis
ini lebih banyak ditemukan pada daerah dingin dibandingkan pada daerah
panas.Hal ini mungkin disebabkan pada umumnya orang yang berdomisili di daerah
dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam. Selain itu, penyebaran cacing ini
juga ditunjang oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya
misalnya penularan dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup dalam
satu lingkungan yang sama (asrama, panti asuhan, serta kelompok institusional
lainnya) dan antar manusia dengan lingkungannya misalnya di berbagai rumah
tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur
cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, buffet, tempat duduk kakus
(toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian, dan tilam. Infeksi parasit ini
sering terjadi pada anak-anak pada usia 5-9 tahun sebab telur cacing dapat
diisolasi dari debu dirungan sekolah atau kafetaria sekolah dan juga dewasa
diantara usia 30 tahun dan 40 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi pada
berbagai golongan manusia 3%-80%. Penelitian di Jakarta Timur melaporkan bahwa
kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia 5-9
tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
Frekuensi di Indonesia tinggi, terutama pada anak-anak
lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada orang kulit
putih lebih tinggi daripada orang negro.
4.
Morfologi
dan Daur Hidup
Enterobius vermicularis dewasa merupakan cacing kecil
berwarna keputih-putihan dan halus.Pada ujung anterior terdapat pelebaran
menyerupai sayap yang disebut alae cephalic.Mulutnya dikelilingi oleh tiga buah
bibir yakni sebuah bibir dorsal dan dua buah bibir lateroventral.
E. vermicularis betina mempunyai ukuran panjang 8-13
mm dengan diameter 0,3-0,5 mm dan pada bagian posterior panjangnya kurang lebih
1/5 dari panjang tubuh, tampak ujungnya runcing seperti duri yang terdiri atas
jaringan hialin. Kutikulanya tipis dan pada ujung anterior terdapat pelebaran
kutikula yang bentuknya seperti sayap yang disebut alae.Ketika di lihat bawah
mikroskop nampak terlihat otot esophagus dengan bulbus terminal yang besar.E.
vermicularis betina ini mempunyai ekor panjang dan runcing.Vulva terletak pada
1/3 bagian anterior tubuh.Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur
kecuali pada bagian ekor.Alat genital berpasangan (duplex) seta anus terletak
pada 1/3 posterior tubuh. Enterobius vermicularis jantan mempunyai ukuran
panjang 2-5 mm dengan diameter 0,1-0,2 mm, mempunyai sayap, ekor tumpul,
melingkar sehingga berbentuk seperti tanda tanya, dan memiliki spikulum pada
ekor meskipun jarang ditemukan. Habitat E. vermicularis dewasa biasanya di usus
terutama dibagian sekum dan daerah sekitarnya yaitu appendix, colon ascendens,
dan ileum.
Gambar. D1. Kepala cacing memperlihatkan alae cefalic lateral. D2.
Bagian ekor cacing jantan. D3. Cacing jantan. D4. Cacing betina, memperlihatkan
jaringan hialin pada ekor. D5. Telur. (Sumber: Natadisastra, Djenududin dan
Agoes, Ridad, 2009)
Enterobius vermicularis betina yang gravid mengandung
11.000-15.000 butir telur dan setiap telur mempunyai ukuran kira-kira 50-60 µm
x 20-30 µm, bermigrasi ke daerah perianal jika sedang hamil atau bertelur.
Karena suhu di luar lebih rendah, E. vermicularis bertelur dan mengeluarkan
telurnya secara berkelompok di daerah perianal dan perinium dengan cara
kontraksi uterus vaginanya. Telur ini dapat melekat di kulit dan objek lain.
Telur jarang dikeluarkan di usus,dan tersembunyi dalam lipatan perianal
sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dengan kulit
yang tipis dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik).Dinding telur bening dan
agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang dan didalamnya berisi embrio
yang terlipat. Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan.
Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin.Dalam keadaan lembab telur
dapat hidup sampai 13 hari.
Kopulasi E. vermicularis jantan dan betina mungkin
terjadi di sekum.E. vermicularis jantan mati setelah kopulasi sedangkan E.
vermicularis betina mati setelah bertelur.
Infeksi E. vermicularis terjadi bila menelan telur
matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi ke
usus besar.Jika yang tertelan adalah telur yang matang, maka telur menetas di
duodenum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di
jejunum dan bagian atas ileum.
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari
tertelannya telur matang sampai telur dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal
berlangsung sekitar 2 minggu sampai 2 bulan.Akan tetapi mungkin daurnya hanya
berlangsung 1 bulan kembali pada anus paling cepat 5 minggu setelah pengobatan.
E. verrmicularis berumur pendek, maksimum 2,5 bulan.
Gambar.
Daur hidup Enterobius vermicularis (Sumber: Staf Pengajar Departemen
Parasitologi FKUI, 2008)
5.
Cara
Penularan
Anjing dan kucing
bukan mengandung Enterobiasis
vermicularis tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat
menempel pada bulunya. Adapun penularan penyakit enterobiasis dapat dipengaruhi
oleh:
1.
Penularan
dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (autoinfeksi) atau
tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri
karena memegang benda-benda maupun pakaian yang terkontaminasi.
2.
Debu
merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga
telur melalui debu dapat tertelan.
3.
Retroinfeksi
melalui anus, yaitu larva dari telur yang menetas di sekitar anus kembali masuk
ke anus sehingga akan terjadi infeksi baru.
6.
Patologi
dan Gejala Klinis
Enterobius
vermicularis relative
tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti.Gejala klinis yang sering
terjadi kebanyakan bersumber dari iritasi pada daerah sekitar anus, perineum,
dan vagina oleh karena akibat migrasi cacing betina yang gravid sehingga
menyebabkan pruritus lokal yang membuat penderita menggaruk daerah sekitar anus
akibatnya timbul luka garuk di sekitar anus.Keadaan sseperti ini sering kali terjadi pada waktu
malam hari sehingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.Pada
penderita anak-anak biasanya ketika pada waktu malam hari, anak tersebut
tidurnya menjadi terganggu, cengeng, dan menangis.Namun jika E. vermicularis masuk ke dalam urethra,
ke vesica urinaria maka anak sering ngompol.
Kadang-kadang E.
vermicularis dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
hingga ke lambung, esophagus maupun hidung akibatnya terjadi gangguan pada
daerah tersebut.Pada wanita, E.
vermicularis betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di
tuba Fallopii sehingga dapat menyebabkan salphyngitis pada saluran telur.E.
vermicularis sering ditemukan pada daerah appendix, tetapi jarang menyebabkan
appendisitis.
Adapun beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis antara lain berkurangnya nafsu makan, berat
badan menurun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak, dan
insomnia.
7.
Diagnosis
Diagnosis pada penyakit yang disebabkan oleh infeksi
E. vermicularis pada anak dapat diduga oleh karena rasa gatal di sekitar anus
pada waktu malam hari.Pemeriksaan feses pada kasus ini kurang baik hasilnya
dikarenakan hasil positif kurang lebih 5% dari yang seharusnya.Diagnosis dibuat
dengan menemukan telur dan cacing dewasa.Diagnosis yang paling baik adalah
dengan menggunakan metode Sctotch adhesive tape swab menurut Graham.Telur
cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan di
sekitar anus dan pemeriksaan ini dilakukan paling efektif pada waktu pagi hari
sebelum mandi dan defekasi.
Anal
swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya
dilekatkan scotch adhesive tape. Scotch tape atau sellophan tape yang
transparan ditempelkan di daerah perianal, lalu diangkat maka telur cacing akan
menempel pada perekatnya kemudian tempelkan scotch tape yang sudah tertempel
telur cacing pada object glass yang telah ditetesi oleh toluol atau larutan
iodium dalam xylol untuk pemeriksaan secara mikroskopik. Pemeriksaan perlu
dilakukan berulang-ulang dalam beberapa hari berturut-turut.Hal ini disebabkan
karena migrasi cacing betina yang hamil tidak teratur.Pada pemeriksaan pertama
hanya dapat menemukan kurang lebih 50% dari semua infeksi, pada pemeriksaan
yang ketiga kalinya dapat menemukan kurang lebih 90%.Pemeriksaan sampel feses
secara rutin memberikan diagnosis positif kurang lebih 5-15%.Seseorang
dikatakan bebas dari infeksi E. vermicularis jika pada pemeriksaan yang
dilakukan 7 hari berturut-turut hasilnya negatif.
8.
Pencegahan
Pencegahan terutama ditunjukan kepada kebersihan
perorangan. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan, cuci
tangan sebelum makan, ganti seprei teratur, ganti celana dalam setiap hari,
membersihkan debu-debu kotoran di rumah, potong kuku secara rutin, hindari
mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Bila perlu toilet dibersihkan dengan
menggunakan desinfektan
9.
Pengobatan
dan Prognosis
Pengobatan dianjurkan diberikan kepada seluruh anggota
keluarga secara bersamaan bilamana ditemukan salah seorang dari anggota
keluarga tersebut mengandung E. vermicularis. Adapun obat-obat yang dapat
diberikan untuk pengobatan infeksi E.
vermicularis sebagai berikut:
1. Piperazine
Zat ini dapat membasmi cacing secara efektif, murah, dan aman, sehingga
banyak digunakan.Pada pemakaian obat ini tidak perlu diberikan laksans, sebab
piperazine sendiri sudah bersifat laksans lemah.
Jarang menimbulkan efek samping, hanya saja pada pemakaian yang over
dosis dapat mengakibatkan gatal-gatal (urtikaria), mengantuk, dan sebagainya.
Contoh obat paten yang mengandung piperazine antara lain antepar dan
bekacitrin.
Dosis : untuk dewasa dosis
tunggal 3-4gr atau 25mg/kg berat badan
(anak-anak) diminum dengan segelas air pada pagi hari sebelum atau sesudah
sarapan pagi sehingga obat sampai di sekum dan diminum selama 2 hari
berturut-turut.
2. Pirvinum
Senyawa ini sangat berkhasiat terhadap oxyuris.Mekanisme kerjanya
merintangi pernafasan dan proses-prose penting lainnya dari cacing.Cacing yang
telah mati dikeluarkan melalui gerak peristaltik usus.
Dosis : 0,5 mg/kg BB untuk
pemberian sirup pirvinum pamoat sebagi dosis tunggal. Pemberian sebaiknya pagi
hari sebelum makan pagi.
3. Pyrantel
Pyrantel ini merupakan derivate pirimidin yang sangat
berkhasiat terhadap ascaris, oxyuris, dan cacing tambang.Cacing-cacing yang
lumpuh dikeluarkan dengan gerak peristaltik tanpa menggunakan laksans.Pyrantel
sangat tidak dianjurkan penggunaannya pada wanita hamil.Obat ini mempunyai efek
samping kadang-kadang pada saluran pencernaan, nyeri kepala, pusing, ruam, demam,
mual, muntah. Contoh obat paten yang mengandung pyrantel antara lain combantrin
dan pyrantin.
Dosis : oral
sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½-2 tablet menurut usia (10mg/kg)
dan kembali diberikan minggu kedua dan keempat.
4. Benzimidazole
Senyawa ini berfungsi menghambat fungsi mikrotubuli pada manusia dewasa
serta menyebabkan deplekasi glikogen.sangatlah efektif. Adapun turunan dari
senyawa ini antara lain mebendazole, albendazole, dan thiabendazole.
a.
Mebendazole
Senyawa ini merupakan turunan dari benzimidazole.Obat ini baik sekali
untuk pengobatan enterobiasis karena efektif terhadap semua stadium
perkembangan E. vermicularis. Obat ini mempunyai efek samping berupa
kadang-kadang diare, nyeri perut, jarang berupa leukopenia,agranulositosis, hipospermia.
Dosis : 100 mg untuk anak
> 2 tahun, ulangi sesudah 2 minggu.
b.
Albendazole
Senyawa ini merupakan turunan dari benzimidazole.Obat ini bekerja dengan
melakukan degenartif sel usus cacing sehingga cacing tak mampu menyerap glukosa
dari manusia dan membuat cacing menguras habis simpanan glikogen mereka sebagai
pengganti energi.Hal ini membuat cacing lemah dan kemudian mati.Albendazol
tidak dianjurkan penggunaannya pada wanita hamil.Obat ini sangat efektif untuk
mengatasi cacing pipih, cacing cambuk dan cacing kremi. Efek samping dari
penggunaan obat ini yakni perasaan kurang nyaman pada saluran pencernaan,
jarang berupa leukopenia,agranulositosis, hipospermia.
Dosis : 400 mg sehari,
diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal untuk dewasa dan anak-anak > 2
tahun. Tablet dapat dikunyah, digerus ataupun dicampur pada makanan.Ulangi
dalam 2 minggu.Untuk anak-anak berumur 1-2 tahun diberikan dosis 200 mg sebagai
dosis tunggal.
c.
Thiabendazole
Obat ini merupakan obat pilihan. Efek samping dari obaat ini yakni
sering mual, muntah, vertigo, terkadang mengalami leukopesi, kristaluria, ruam,
halusinasi, gangguan olfaktorius,eritema multiforme, sindroma Steven-Jhonson
dan jarang syok, tinnitus, kolestasis intrahepatik, konvulsi, edema
angioneurotik
Dosis : 25 mg/kg BB
(maksimum1,5 gr), harus diberikan sesudah makan, dua kali perhari yang
diberikan pada hari ke-1 dan ke-7.
Selain dengan cara pengobatan diatas (merdikamentosa),
pasien juga diberikan terapi berupa istirahat dan diet.
Prognosis dari penyakit Enterobiasis baik apabila
diberikan pengobatan secara periodik dan penderita harus menjaga kebersihan
diri serta lingkungan rumahnya.Prognosis menjadi buruk apabila terjadi
reinfeksi pada pasien jika tidak diberikan pengobatan secara periodik tetapi
tidak mengancam nyawa.
2.6. Toxocara
spp
Toxocara
berasal dari kata toxo yang berarti panah dan cara yang berarti kepala. Dua
spesies penting pada genus toxocara adalah toxocara canis (menginfeksi anjing)
dan toxocara cati (menginfeksi kucing).Kedua spesies ini dikenal sebagai cacing
yang biasanya menginfeksi anjing dan kucing dan menimbulkan visceral larva migrans pada
manusia.Penyakit yang ditimbulkan disebut toxocariasis.
Beaver
(1972) merupakan orang pertama yang melaporkan infeksi cacing ini pada
manusia.Dari survei yang pernah dilakukan, diketahui bahwa 2% penduduk telah
terinfeksi cacing ini.
1. Distribusi
geografik
Toxocariasis
merupakan penyakit kosmopolitan pada manusia pemelihara kucing yang juga dapat
ditemukan di Indonesia, walaupun demikian banyak kasus yang tidak terdiagnosa.
Di Jakarta prevalensi pada kucing yaitu 26%, dan pada anjing 38,3%. Sedangkan
di amerika dilaporkan bahwa 2-90% anjing terinfeksi cacing ini.
2. Morfologi
Telur
cacing toxocara canis berukuran 90 x 75 µ serta dinding telurnya
berbenjol-benjol kasar. Ketika dewasa, cacing toxocara canis jantan mempunyai
panjang 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina mempunyai ukuran 5,7 – 10,0cm. Telur
cacing toxocara cati berukuran 65 x 75 µ dengan dinding telur
berbenjol-benjol halus dan saat dewasa cacing toxocara cati jantan mempunyai
panjang 2,5 – 7,8 cm sedangkan yang betina mempunyai panjang 2,5 – 14,0 cm.
Bentuknya menyerupai ascaris lumbricoides muda. Pada toxocara cati terdapat
sayap cervical yang berbentuk seperti lanset, yang ukurannya lebih besar dibandingkan
dengan yang ditemukan pada toxocara canis, sehingga kepalanya menyerupai kepala
ular kobra.Bentuk ekor cacing toxocara cati jantan seperti tangan dengan jari
yang sedang menunjuk (digitiform),
sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing.Walaupun keduanya sangat mirip,
tetapi dapat dibedakan berdasarkan bentuk telur, cervical alae, dan ekornya.
3. Siklus
hidup
Pada
dasarnya siklus hidup cacing ini sama dengan siklus hidup ascaris lumbricoides.
Manusia dapat terinfeksi cacing ini bila memakan makanan yang terkontaminasi
telur cacing. Telur infeksius ini akan menetas dalam usus dan larvanya menembus
pembuluh darah untuk ikut aliran darah ke seluruh tubuh dan terdampar di
organ-organ tubuh. Walaupun pernah diaporkan ditemukannya cacing dewasa pada 3
kasus, namun dipercaya bahwa larva yang menetas di tubuh manusia tidak pernah
menjadi dewasa.
Siklus
toxocara canis dalam tubuh anjing lebih dikenal daripada siklus hidup toxocara
cati dalam tubuh kucing, namun kebanyakan orang menganggap keduanya adalah
sama. Pada anjing, siklus dimulai dari tertelannya telur yang berembrio oleh
anjing.Telur tersebut menetas diusus anjing dan larvanya melakukan migrasi ke
jaringan.Pada anjing betina yang sedang hamil, larva dapat bermigrasi ke hati
fetusnya sekitar hari ke 42 setelah infeksi dengan telur yang infeksius.Dalam
hati fetus, larva berkembang menjadi larva stadium ketiga.Setelah fetus tadi
lahir, larva cacing bermigrasi ke lambungnya melalui paru-paru.Pada hari ke12
larva tadi sampai di usus halus dan mejadi dewasa 3 minggu kemudian.Larva di
usus anak anjing dapat pula dikeluarkan bersama feses yang apabila dimakan oleh
induknya, larva tadi menjadi dewasa diusus induk anjing untuk kemudian
menghasilkan telur dan siklus terulang kembali.Pernah dilaporkan juga bahwa selain
penularan transplasenta dari induk anjing ke fetusnya, penularan dapat juga
secara transmammary.
Kemungkinan
lain dari siklus hidup cacing ini adalah :
a. Ditelannya
telur yang infeksius oleh anak anjing (berumur kurang dari 3 minggu) yang
kemudian menetas, migrasi melalui trakea
dan menjadi dewasa di usus halusnya.
b. Tertelannya
telur infeksius oleh anjing yang berumur lebih dari 3 minggu dan larva yang
menetas akan berdiam di jaringan tubuhnya.
c. Telur
infeksius ditelan oleh tikus kemudian larvanya bermigrasi ke jaringan tubuhnya.
Bila tikus ini dimangsa oleh anjing yang berumur lebih dari 3 minggu, maka
larva yang ada akan bermigrasi ke usus anjing melalui trakea.
d. Telur
infeksius tertelan oleh manusia, larvanya menetas dan bermigrasi ke mata
(menimbulkan kebutaan) atau di organ tubuh lain dan menimbulkan eosinofilia.
4. Patologi
dan gejala klinis
Pada
manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan hanya mengembara di organ dalam
tubuh.Gejala yang ditimbulkan pada toxocariasis sangat tergantung dimana larva
cacing ini berada. Berat ringannya penyakit yang ditimbulkan tergantung pada :
a) jumlah telur yang tertelan, b) jumlah larva yang melakukan penetrasi di
dinding usus, c) jumlah larva yang melakukan migrasi, d) status imunitas dari
host, dan e) letak larva dalam tubuh host. Pada infeksi ringan, hanya ditemukan
eosinofilia, sedangkan pada infeksi yang lebih berat dapat pula dijumpai demam,
batuk, nausea, dan muntah.Pada anak-anak sering dijumpai anoreksia, sakit sendi
dan otot, penurunan berat badan, dan kejang-kejang.Terkadang dapat ditemukan
hepatomegali. Gejala-gejala ini biasanya kemungkinan akan hilang setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Secara
patologis, gejala yang timbul dapat diterangkan dari reaksi tubuh yang
ditimbulkan oleh larva. Larva yang bermigrasi akan terjebak di suatu jaringan
dan dapat terbungkus dalam granuloma yang kemudian dihancurkan atau juga dapat
tetap hidup selama bertahun-tahun. Kelainan yang timbul karena migrasi larva
dapat berupa perdarahan, nekrosis, dan peradangan yang didominasi oleh
eosinofil. Kematian larva akan menstimulasi respon imun immediate-type hypersensitivity yang menimbulkan penyakit visceral larva migrans (VLM), dengan
gejala demam, pembesaran hati dan limpa, gejala saluran napas bawah seperti
bronkospasme (mirip, hipergammaglobulinemia IgM, IgG, IgE). Kelainan pada otak
dapat menyebabkan kejang, gejala neuropsikiatrik, atau encephalopati. Umumnya
penderita VLM adalah anak usia dibawah 5 tahun karena mereka banyak bermain di
tanah atau kebiasaan memakan tanah (geofagia atau pica) yang terkontaminasi
feses kucing. VLM dapat juga disebabkan oleh larva nematoda lain.
Kelainan
karena migrasi larva pada retina mata disebut occular larva migrans (OLM) biasanya unilateral dapat berupa
penurunan penglihatan yang dapat disertai strabismus pada anak, invasi retina
disertai pembentukan granuloma yang dapat menyebabkan terlepasnya retina,
endofthalmitis, dan glaucoma hingga kebutaan.Akhir-akhir ini diketahui bahwa
banyak kasus mata yang disebabkan oleh visceral larva migrans, namun selalu
pada mulanya salah didiagnosa.Pernah dilaporkan bahwa 15% dari penyakit yang
semual di diagnosa sebagai retinoblastoma dan setelah di enukleasi ternyata
ditemukan larva di dalam bola mata. Sehubungan dengan tingginya kesalahan
diagnosa, maka sebagai pedoman penegakan diagnosa adalah kumpulan gejela yang
dianggap sebagai tanda cardinal visceral larva migrans yaitu : a) dimilikinya
anak anjing atau anak kucing, b) penderita adalah anak-anak atau orang muda, c)
hepatomegali, d) pica, dan e) eosinofilia serta meningkatnya titer Ig E.
5. Diagnosa
Diagnosa
pasti VLM dengan menemukan larva atau potongan larva dalam jaringan namun sukar
untuk ditegakkan. Oleh karena itu, dapat dilakukan diagnosis serologi melalui
deteksi antibodi IgG terhadap antigen eksretori-sekretori larva toxocara canis
disertai eosinofilia (>2000 sel /mm3), atau peningkatan total IgE
(>500IU/ml) dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada penderita OLM,
imunodiagnosis kurang sensitif walaupun titer IgG yang lebih tinggi ditemukan
pada cairan aqueous atau vitreus.
Teknik
pencitraan seperti USG, CT scan, dan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi lesi
granulomatosa yang berisi larva toxocara.
6. Pengobatan
Pasien
dengan VLM dapat diobati dengan Albendazol 400mg dengan dosis 2 kali perhari
selama 5 hari.Reaksi alergi dapat diatasi dengan pemberian kortikosteroid.Pada
penderita OLM dilakukan operasi vitrektomi, pengobatan dengan anthelmintik, dan
kortikosteroid.
Cacing dewasa yang terdapat pada anjing dan kucing dapat
diatasi dengan penggunaan pirantel pamoat, sedangkan larvanya dapat diatasi
dengan penggunaan Dietil Carmbamasin (DEC).
7. Pengendalian
Pengendalian
infeksi dapat dilakukan dengan mencegah agar kucing atau anjing peliharaan
tidak membuang feses sembarangan terutama di tempat bermain anak-anak, dan
kebun sayuran.Hewan yang telah terinfeksi dapat diobati dengan mebendazol atau
ivermectin. Anak kucing atau anak anjing secara rutin diobati mulai usia 2-3
minggu, dan setiap 2minggu hingga berusia 1tahun, sedangkan kucing atau anjing
dewasa diobati setiap 6 bulan sekali.
Pada
manusia pencegahan dapat dilakukan dengan mengawasi anak yang mempunyai
kebiasaan memakan tanah, meningkatkan kebersihan pribadi seperti mencuci tangan
sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang, dan membersihkan dengan
baik sayur lalapan.
2.7. Trichinella
spiralis
Pada tahun 1835 James Pagent, seorang
mahasiswa kedokteran, menemukan larva dalam otot seorang italia yang meninggal
karena tuberculosis di rumah sakit London. Cacing pemilik larva itu diberi namaTrichina Spiralis oleh Owen, yang
kemudian diubah menjadi Trichinella
Spiralis. Zenker (1860) menemukan hubungan penyakit yang ditimbulkan oleh
cacing ini dengan kebiasaan memakan
sosis daging mentah. Selanjutnya penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini
diberi nama, seperti trichinosis atau trichiniasis atau trichinialliasis atau
trichinellosis.
Sebetulnua cacing ini merupakan parasit
pada hewan pemakan daging, namun manusia dapat mengidapnya setelah memakan
daging mentah, khususnya daging babi.Sebagaimana telah dikatakan larva cacing
ini sering ditemukan dalam otot manusia, walaupun sebenarnya cacing ini memiliki
fase hidup dalam usus juga, tetapi fase ini jarang terdiagnosa.
1. Distribusi
Geografis
Hampir diseluruh duniapernah
dilaporkan adanya penyakit yang disebabkan cacing ini.Negara yang terkena
penyakit ini umumnya adalah Negara yang secara endemic masyarakatnya memakan
daging babi, antara lai Thailand, Kenya, Tanzania, dan Segenal.Ditemukan juga
di Iran dan Mesir. Negara – Negara Amerika Selatan, termasuk Mexico dan Chili,
dan juga Amerika Serikat masih mempunyai masalah dengan penyakit ini .walaupun
data tentang penyakit ini tidak terlalu banyak dipublikasikan di Asia, namun
diperkirakan penyakit ini tersebar luas diseluruh Asia.
Dikenal 4 sub spesies yang memegang
peranan, yaitu Trichinella spiralis
yang terdapat di daerah beriklim sedang dengan babi sebagai reservoir, Trichinella spiralis nativa yang
parasitik bagi Carnivora di daerah
kutub misalnya beruang kutub dan walrus, Trichinella
spiralis pseudospiralis yang parasitik bagi burung pemakan daging.
Siklus
Hidup
Larva yang terdapat dalam daging
bila termakan akan keluar dari cysternya di lambung, kemudian larva ini
bergerak menuji usus kecil, melakukan penetrasi mukosa usus dan menjadi dewasa
dalam satu minggu. Cacing dewasa dapat hidup beberapa minggu dalam tubuh
manusia (rata – rata 50 hari).Cacing dewasa jantan dan betina (1-4 mm) hidung
dalam lapisan mukosa usus.Di situ mereka melakukan perkawinan sehingga cacing
betina melahirkan larvanya (100μm).Jumlah larva yang dihasilkan dapat mencapai
1350-1500 ekor. Larva – larva ini kemudian bergerak ke pembuluh darah,
mengikuti aliran darah limfe menuju ke jantung dan paru, akhirnya menembus
otot. Dalam serat otot larva ini dikelilingi oleh sel Sertoli otot. Biasanya
larva ini menjadi infeksisus setelah berumur 30 hari dalam otot dan siklus
hidup akan terulang kembali bila otot yang terinfeksi termakan oleh host. Jadi, sebenarnya pada cacing ini
tidak dikenal adanya intermediate host
sebab seluruh siklus hidupnya terjadi pada satu host saja. Larva yang tetap tinggal di otot akan membentuk cyste
dan dapat hidup sampai 11-12 tahun (dalam otot babi) atau 30 tahun (dalam otot
manusia).
2. Morfologi
Cacing jantan dewasa berukuran1,4 –
1,6mm x 0,06mm , sedangkan yang betina berukuran 3-4mm x 0,6mm. cacing ini
memiliki esophagus sepanjang 1/3 sampai ½ panjang badang dan terdiri dari
stichocyte untuk membentuk esophagus tipe stichosome.
Cacing jantan tidak memiliki spicule
tetapi mempunyai copulatory appendages
yang berbentuk lobuler.Cacing betina memiliki uterus di sebelah anterior
ovarium yang terkadang Nampak berisi banyak sekali larva yang siap dilahirkan.
3. Manifestasi
Klinis
Masa inkubasi trichinosis
diperkirakan antara 10-14 hari setelah
memakan daging yang terinfeksi yang bervariasi antara 5-45 hari. Variasi masa
inkubasi ini ternyata berhubungan dengan banyaknya larva yang dikonsumsi, sebab
gejala dan tanda – tanda penyakit baru Nampak jelas bila terjadi infeksi dengan
10 larva per gram daging.
Tanda utama infeksi dengan cacing
ini berupa eosinofilia disertai gejala berupa pembengkakan di daerah wajah dan
sekitar mata.Pembengkakan di kelopak mata disebabkan karena larva menembus
capillair (kapiler) yang menyebabkan perdarahan dan darah tertimbung di
jaringan.Pada infeksi berat dapat dijumpai sakit perut disertai diare atau
obstipasi, anoreksia, dan kelemahan. Dari seluruh gajala tadi karakteristik
adalah timbulnya demam yang dapat dikatakan tidak pernah terjadi pada infeksi
dengan cacing lain. Pada saat larva masuk kedalam otot (biasanya yang disukai
oleh larva adalah otot seranlintang) ia akan merusak sarkolema otot sehingga
timbul myositis, penderita merasakan nyeri otot hebat yang disertai dengan
eosinofilia serta pembengkakan pada kelopak mata. Bilamana larva masuk ke otot
jantung terjadilah myokarditis dan bila mengikuti aliran darah menuju otak dan
paru terjadilah encephalitis dan bronchopneumonia. Semua gejala ini umumnya
mereda setelah minggu kelima infeksi.
Pada infeksi yang sangat berat sering dijumpai gagal jantung yang diakhiri
dengan kematian.Namun yang menarik adalah tidak ditemukannyaeosinofilia pada
infeksi berat.
Secara histologist pada fase cacing
menjadi dewasa, ditemukan adanya pembengkakan dan infiltrasi di daerah usus
disamping tanda – tanda radang dan sekresi usus yang berlebihan.Pada fase larva
sedang bermigrasi sering dijumpaiinflamasi pembuluh darah sampai hemorrhagi,
dan fase larva sudah berada di otot, ditemukanperadangan otot, dan degenerasi
sel otot sampai kalsifikasi cyste.
4. Diagnosis Laboratoris
Diagnoswa trichinosis ditegakkan
dengan melakukan biopsy diotot deltoid atau gastrocnemius. Biasanya sebagian
specimen difiksasi dan diwarnai untuk melihat adanya larva, dan sebagian lagi
diperiksa sebagai preparat segar melalui teknik digesti.
Pemeriksaan serologis dilakukan
dengan teknik Bentonite Flocculation
(BFT) dan ELISA. Titer BFT yang lebih tinggi atau sama dengan 1 : 5 menunjukkan
telah terjadi infeksi baru dengan larva Trichinella
Spiralis. Sedangkan tes ELISA baru positif setelah 38 hari terinfeksi dan akan tetap positif sampai sepuluh tahun
setelah infeksi.
5. Pengobatan
Thiabendazole, Mebendazole dan
Pyrantel pamoate merupakan obat yang efektif bagi penderita dalam fase
intestinal, tetapi saying fase ini sulit didiagnosa.
6. Epidemiologi
Infeksi
Trichinella spiralis pada manusia
sudah sering dilaporkan, bahkan pernah terjadi beberapa kali outbreak di beberapa Negara.Daging babi
yang terinfeksi dianggap sebagai sumber penularan utama bagi manusia yang
sering mamakan daging mentah atau tidak benar – banar matang.Namun, sekarang
bukan daging babi lagi yang merupakan sumber penularan utama melainkan daging
binatang buruan. Sampai saat ini dikenal lebih dari 40 spesies carnivora, 20 spesies tikus, 6 spesies insectivora dan 2 spesies ikan paus,
walrus, dan burung yang menjadi sumber penularan Trichinella Spiralis. Hewan – hewan inilah yang sekarang dianggap
sebagai reservoir utama dan tidak dikenal adanya penularan dari orang ke orang.
Pengawasan penularan terutama
dilakukan dengan penyuluhanj kesehatan dan mengubah kebiasaan memakan daging
mentah.Pemanasan diatas 65,60C yang merata diseluruh daging dianggap
cukup memadai untuk membunuh larva cacing ini.Larva pada daging yang terinfeksi
dengan ketebalan 15 cm dapat dibunuh dengan jalan dibekukannya pada suhu -250C
selama 10 hari.Untuk daging yang lebih tebal dari 15cm diperlukan waktu
pembekuan 20 hari.
Kesimpulan
1.
Nematoda yang hidup sebagai parasit,
merupakan jumlah spesies paling banyak. Kebanyakan hidup bebas di air tawar,
laut serta ada juga yang hidup di lumpur atau tanah perkebunan.
2. Manusia
merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini
menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan
cara penyebaran, nematoda usus dibagi kedalam dua kelompok, yaitu nematoda usus
yang ditularkan melalui tanah soil
transmitted heminths yaitu kelompok cacing nematoda yang membutuhkan tanah
untuk pematangan dari bentuk non-infektif menjadi bentuk infektif.
3.
Nematoda
usus yang terpenting bagi manusia tediri dari :
a.
Ascaris
lumbroicoides
b.
Cacing
tambang
c.
Trichuris
trichura
d.
Strongyloides
stercolaris
e.
Enterobius
vermicularis
f.
Toxocara
canis dan toxocara cati
g.
Trichinela
spiralis
Daftar Pustaka
1. Natadisastra
D. Agoes R. Parasitologi Kedokteran. 2009. Jakarta. Penerbit: Buku kedokteran
EGC
2.
Sutanto Inge, Ismid Suhariah Is,
Sjarifuddin K. Pudji, Sungkar Saleha. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi
keempat. 2008. Jakarta. Penerbit :Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. Palgunadi,bagus.,2010.Cutaneous larvae migrans.Lecturer
Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma. Surabaya
4. Handoyo,
I., Margono, S.S. 2008. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: penerbit FK UI.
5. Agnes,
Ridad. 2009. Parasitologi Kedokteran
Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
6. Ngui,
R., Lim, Y., Traub, R., Mahmud, R., Mistam, M. 2012. Epidemiological and Genetic Data Supproting the Transmission of
Ancylostoma ceylanicum among Human and Dosmestik Animals. PLOS Negleted
Tropical Diseases 6, 1522
7. Behrman,
Kliegman, and Arvin. 1996. Nelson
Textbook of Pediatric Edition 15. Philadelphia: Saunders Company,
Philadelphia, Pennsylvania
8.
Doerr, Seifert, and Uehlinger.
1995. Tropical Pathology Volume 8 Edisi
2.New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg
9. Gandahusada,
Srisasi. 2006. Parasitologi Kedokteran
Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
10. Gutierrez,
Yezzid. 2000. Diagnostic Pathology of
Parasitic Infections: With Clinical Correlations Second Edision. New York:
Oxford University Press, Inc.
11. Kayser,
F. H, et all. 2005. Medical Microbiology.
Germany: Georg Thieme Verlag
12. Salim,
Ivo Novita. 1997. Problem
Gastroenterologi Daerah Tropis. Jakarta: EGC
13. Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
14. Tjay,
Tan Hoan dan Raharja, Kirana. 2007. Obat-obat
Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo
15. Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI.Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Edisi
Keempat.Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2009.
16. Sadjaja,B.
2007.Parasitologi Kedokteran Buku II
Helmintologi Kedokteran, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Tidak ada komentar:
Posting Komentar