Jumat, 11 Oktober 2013

NEMATODA JARINGAN



TUGAS INDIVIDU
PARASITOLOGI KEDOKTERAN
JUDUL : NEMATODA JARINGAN

OLEH :
NAMA  : ODI P SEMBOARI
NIM      : 0090840007

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helmin dibagi menjadi 2, yaitu :
1.      Nemathelminthes (cacing gilik; nema = benang);
2.      Plathyhelminthes (cacing pipih).

Cacing nemathelminthes, termasuk ke dalam kelas nematoda mempunyai jumlah spesies terbanyak diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Nematoda dalam parasitologi kedokteran terbagi menjadi 2, yaitu :
1.      Nematoda usus, yang hidup di rongga usus; dan
2.      Nematoda jaringan, yang hidup di berbagai jaringan tubuh.

Cacing-cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes-parasit (host-parasite relationship). Pada nematoda usus, terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah disebut soil transmitted helminthes. Beberapa spesies nematoda usus tersebut, yaitu :
1.      Ascaris lumbricoides
2.      Necator americanus
3.      Ancylostoma duodenale
4.      Trichuris trichiura
5.      Strongyloides stercoralis
6.      Toxocara sp (Toxocara canis dan Toxocara cati)
7.      Enterobius vermicularis
8.      Trichinella spiralis
Sedangkan spesies nematoda jaringan terdiri dari:
1.      Wuchereria bancrofti
2.      Brugia malayi
3.      Brugia Timori
4.      Loa-loa
5.      Onchocerca volvulus
Nematoda mempunyai berbagai macam ukuran. Nematoda juga mempunyai kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yang agak lengkap. Stadium dewasa cacing nematoda berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak rongga badan dan alat-alat. Cacing tersebut mempunyai alat kelamin yang terpisah. Sistem pencernaan, ekskresi dan reproduksinya terpisah. Umumnya cacing nematode bertelur tapi ada juga yang vivipar dan berkembang biak secara parthenogenesis. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak 20-200.000 butri sehari. Telur atau larva tersebut dikeluarkan dari dalam tubuh hospesnya melalui tinja. Bentuk infektif dari cacing nematode ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau masuk melalui gigitan vektor.
Pada makalah ini, yang akan kelompok kami bahas adalah mengenai nematoda jaringan, yang terdiri dari :
1.      Wuchereria bancrofti
2.      Brugia malayi
3.      Brugia Timori
4.      Loa-loa
5.      Onchocerca volvulus







BAB II
PEMBAHASAN

A.     Wuchereria bancrofti
Infeksi dengan cacing ini kebanyakan tidak menimbulkan gejala apa-apa dan kalau ada hanya merupakan proses inflamasi serta obstruksi saluran limpa. Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah hydrocele, chyluria, dan elephantiasis.Penyakitnya sendiri dinamakan filariasis, lebih spesifiknya Bancroftian filariasis.Penyakit ini sampai sekarang memang sudah banyak diketahui, namun sangat sedikit yang benar-benar dimengerti.

1.         Distribusi geografis
WHO memperkirakan ada 250 juta kasus filariasis di dunia dan kebanyakan mereka tinggal dia Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika. Jumlah kasus sudah banyak sekali berkurang di Amerika dan diperkirakan daerah endemic hanya di Haiti , Republik Dominika, dan daerah pantai Brazilia. Khusus Wuchereria bancrofti, strain nocturnal periodic ditemukan di Asia , Afrika, dan Pasifik Barat, sedangkan strain diurnal periodic banyak ditemukan di Pasifik Selatan.










2.      Siklus hidup
Rounded Rectangle: Gambar 2.1 Siklus Hidup Wuchereria bancrofti

Larva yang infeksius keluar dari proboscis nyamuk pada saat nyamuk menghisap darah.Larva tersebut jatuh di kulit dan masuk ke dalam kulit melalui bekas luka tusukan proboscis nyamuk.Larva ini bermigrasi ke saluran limfe dan berdiam di kelenjar limfe terdekat.Di kelenjar limfe inilah larva berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina.
Pada saat nyamuk menghisap darah dapat saja microfilaria yang ada di peredaran darah ikut terhisap dan masuk ke lambung nyamuk.Dari lambung nyamuk larva ini bepenetrasi ke hemocele dan berkembang menjadi larva stadium I, II, dan III (L1, L2, L3) di thorax nyamuk. Dari thorax nyamuk larva L3 yang aktif dapat melakukan penetrasi kemana-mana antara lain ke proboscis nyamuk. Untuk menjadi larva infeksius dibutuhkan waktu kurang lebih 10-14 hari di tubuh nyamuk.Pada hari kesepuluh biasanya tubuh nyamuk telah penuh mengandung larva yang berpenetrasi kemana-mana.Keadaan ini menyebabkan kematian bagi nyamuk tersebut dan dengan sendirinya mengakibatkan menurunnya prosentasi infeksi.Larva stadium III adalah larva yang infeksius dan siap menginfeksi manusia bila mana nyamuk menghisap darah dan menjatuhkan L3 ke kulit manusia, sehingga siklus di atas terulang kembali.

3.      Morfologi
Microfilaria dari Wuschereria bancrofti mempunyai cirri khas yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk membedakannya dengan microfilaria yang lain. Adapun cirri khas tersebut adalah :

Gambar 2.2 Mikrofilaria Di Dalam Darah (pembesaran 10 x 40, pewarnaan Haematoxylin
 


a.       Microfilaria berukuran 244 -296 µ.
b.      Tubuhnya dikelilingi oleh selubung atau sheath. Wuschereria bancrofti strain nocturnal periodic memilki sheath yang biasanya terlepas sedangkan strain nocturnal sub periodic sheath, sheathnya tidak terlepas.
c.       Bentuk tubuhnya panjang agak melengkung dengan dinding tubuh yang halus.
d.      Boddy nuclei-nya terpisah-pisah atau berdiri sendiri-sendiri, berawarna biru.
e.       Body nuclei ini tidak pernah mencapai ujung ekornya.
f.       Cephalic space-nya pendek, kira0kira sama ukurannya dengan lebar tubuhnya.
Wuschereria bancrofti dewasa hidup di kelenjar limfe. Cacing dewasa berwarna putih susu dan berbentuk seperti benang dan berkitukula halus. Cacing jantan berukuran 40 mm sedangkan cacing betina anata 80-100 mm. bagian posteriornya membulat.
Cacing jantan memiliki papilla di bagigan posteriornya sebanyak 12 pasang, spiculennya tidak begitu jelas nampak.Cacing betina memilki vulva yang terletak di anterior tubuh, vaginanya pendek yang melanjutkan didi menjadi uterus.Di dalam uterus ini sering ditemukan microfilaria yang berukuran 25x38 µ.
Microfilaria didalam tubuh nyamuk akan berkembang menjadi larva L1, L2, dan L3. Larva tersebut di d alam tubuh nyamuk umumnya berbentuk seperti sosis dan dapat dibedakan dari larva Filaroidea lainnya berdasarkan tonjolan di ekornya. Berikut adalah perbedaannya:
a.       Larva stadium I panjangnya ± 147 mikron, bentuknya seperti sosis, ekornya panjang dan lancip.
Gambar 2.3 Larva Stadium I (pembesaran 10 x 40)
 
b.      Larva stadium II panjangnya ± 450 mikron, bentuknya lebih gemuk dan lebih panjang daripada bentuk stadium I, ekornya pendek seperti kerucut. Larva stadium I berkembang menjadi larva stadium II dalam waktu kurang lebih satu minggu dengan bertukar kulit dan tumbuh menjadi larva yang lebih besar.
c.       Larva stadium III panjangnya ± 1200 mikron, pada hari kesepuluh dan selanjutnya larva akan bertukar kulit sekali lagi dan tumbuh menjadi lebih panjang dan bentuknya lebih langsing, pada ekor terdapat tiga buah papil dan memiliki ciri khas yang berbeda dengan larva lain, seperti:
-        Perbandingan jarak anal pore sampai ujung ekor dengan lebar tubuh (anal ratio) adalah 1:2. Perbandingan ini digunakan untuk membedakannya dengan larva dirofilaria imitis yang anal rationya 1:1.
-        Adanya tonjolan atau knob di bagian posterior tubuh. Adanya tonjolan ini digunakan untuk membedakannya dengan larva Brugia spp.
Gambar 2.4 Larva Stadium III (Pembesaran 10 x 10)
 


4.      Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis akibat infeksi cacing ini terbentuk beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi, tetapi ada beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimtomatik selama hidupnya.Mereka yang menunjukkan gejala akut mengeluh demam, limpangitis, limpadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia dan malaise.Tidak jarang ditemukan adanya eosinofilia dan microfilariaremial.
Mula-mula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pebuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testes, dan epididimis.Pelebaran pembuluh limfe ini diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma. Pada keadaan kronis terjadi pembesaran kelenjar limfe., hydrocele dan elephantiasis. Cacing dewasa yang menyumbat pembuluh limfe menyebabkan chyluria dan ascites.
Cacing dewasa yang mati biasanya menimbulkan reaksi peradangan akut sampai terjadi nekrosis.Pada keadaan ini lumem pembuluh limfe tersumbat dan pada saat yang bersamaan terjadi fibrosis di sekitar cacing yang mati tadi.
Microfilaria cacing ini biasanya melekat erat di anatara vena dan arteri di paru.Hal ini yang diperkirakan menjadi sebab timbulnya periodisitas.Microfilaria yang masih hidup umumnya tidak menimbulkan kerusakan, namun bila microfilaria ini mati dan mengalami disintegrasi, terjadilah peradangan akut sebagai reaksi imunologis dari tubuh.
Elefantiasis tidak terjadi pada setiap orang yang terinfeksi.Hanya pada mereka yang hipersensitif pada elephantiasis ini dapat terjadi, namun tidak ditemukan adanya microfilaria dalam darahnya.Kemungkinan hipersensitifitas ini menyebabkan mikrofolaria tidak terbentuk atau difagositosis.Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah yang biasanya diikuti infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia ­(TPE). TPE terjadi di individu yang hipersensitif antigen filarial, memberi gambaran batuk pada malam hari, menimbulkan suaru whizzing dan demam yang berderajat rendah.

5.      Diagnosa laboratorium
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan adanya microfilaria dsalam darah tepi yang dibuat sebagai preparat darah tebal.Pengambilan darah dilakukan pada saat microfilaria berada dalam jumlah banyak di darah tepi sesuai periodositasnya (di atas pukul 20.00 pada yang nocturnal periodic).Untuk menentukan diagnosa mikroskopis secara tetat, cirri-ciri khas seperti yang dibicarakan mengenai morfologi cacing ini dijadikan pedoman utama.Agar dapat ditemukan microfilaria yang lebih banyak, orang sering menggunakan membrane technique atau membrane filtration.

6.      Pengobatan
Pengobatan yang dapat diberikan pada pasien filariasis dengan tipe cacing wuchereria bancrofti, yaitu berupa diethylcarbamzine (DEC), hetrazan (1-diethyl carbamyl 1-4 methylpiperazine dihydrogen citrate).Pertama kali dicoba di klinik tahun 1947 dan telah menjadi obat pilihan untuk filariasis bancrofti.Pada pemberian peroral, cepat menghilangkan microfilaria dala darah perifer dan terkumpul didalam pembuluh darah visceral yang kemudia diserang oleh fagosit.Akan tetapi, pengaruh terhadap cacing dewasa tidak nyata, menurut Hawking, cacing betina menjadi mandul. Dosis yang diajurkan (0,5-2) mg/kg berat badan, diberikan setelah makan, 3 kali perhari dalam waktu 2-3 minggu, cepat menghilangkan microfilaria dalam darah walaupun efek terhadap cacing dewasa lambat. Toleransinya terhadap filariasis bancrofti cukup baik.
Program eliminasi filariasis melalui pengobatan masal didaerah endemis (prevalensi >1%) telah dicanangkan oleh organisasi kesehatan dunia. Obat yang dianjurkan adalah kombinasi DEC 6 mg/kg berat badan dan albendazol 400 mg yang diberikan sekali setiap tahun selama 5-10 tahun pada penduduk diatas usia 2 tahun. Obat lainnya yang diberikan pada pasien khususnya didaerah polinesia dengan pemberian Hetrazan yang mampu membunuh microfilaria dengan cepat didalam darah, namun menimbulkan erupsi bulosa pada kulit sebagai reaksi alergi.Erupsi yang timbul dalam 1-14 hari dapat diobati dengan kortikosteroid dan sembuh dalam 1-3 hari.
Obat lain yang juga dipakai dan saat ini masih terus diuji coba adalah Ivermektin. Ivermektin adalah antibiotic semisintetik dari golongan makrolit yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit.Obat ini hanya membunuh microfilaria.Efek sampingnya yang ditimbulkan lebih ringan dari DEC.
Hal-hal lain yang dapat dipikirkan adalah dilakukannya operasi kondoleon yang dilakukan pada keadaan elephantiasis. Kompresi dengan kain pembalut Knott, 1938 yang dapat dilakukan pada elephantiasis ekstremitas bawah.Kompres cairan magnesium sulfat dapat diberikan selama serangan akut limphangitis.Sulfonamid atau antibiotik diberikan jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri.

7.      Prognosis
Pengobatan akan memberikan kesembuhan pada penderita mikrofilaremia, stadium akut, limfedema stadium 1-2, kiluria, dan stadium dini elephantiasis. Bila sudah mencapai hidrokel dan elephantiasis lanjut biasanya ditanggulangi dengan cara pembedahan.
Untuk menghindari infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur serta mencegah perkembangan lanjut limfedema maka pada penderita limfedema perlu diajarkan cara membersihkan kaki dengan air dan sabun terutama di daerah lipatan kulit dan sela jari. Bila ditemukan luka harus segera diobati dengan antibiotic dan antimikotik.
Kelangsungan hidup filarial di dalam tubuh hospes dipengaruhi oleh adanya Wolbachia yang merupakan endobakteri dari famili ricketsiaceae.Endobakteri ini berperan pada perkembangan, reproduksi, dan kelangsungan hidup parasit filarial dalam tubuh hospes sehingga dapat dijadikan target pada pengobatan filariasis. Pengobatan DEC pada filariasis akan membunuh parasit sehingga keluarnya Wolbachia atau molekul lipopolisakarida menyebabkan efek samping pengobatan.

B.     Brugia Malayi
1.      Hospes dan nama penyakit
Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan yang hidup pada manusia dan hewan, misalnya kucing, kera dan lain-lain. Penyakit yang disebabkan oleh brugia malayi disebut filariasis malayi.

2.      Distribusi geografi
Burgia malayi hanya terdapat di Asia, dari india sampai ke jepang, termasuk Indonesia (parasitologi kedokteran edisi 3). Pada daerah tersebut hanya manusia yang merupakan satu-satunya definitive host. Sedangkan strain diurnal subperiodik ditemukan di daerah Asia Tenggara. Di daerah ini selain manusia, ternyata kera, kucing, dan beberapa hewan carnivore dapat menjadi reservoir host (Helmintologi kedokteran).

3.      Epidemologi
Brugia malayi terutama ditularkan melalui Mansonia spp, Aedes spp dan Anopheles sp. Brugia malayi hanya terdapat di pedesaan, karena vektornya tidak dapat berkembang biak diperkotaan. Brugia malayi hanya hidup pada manusia dan hewan biasanya terdapat di pinggir pantai atau aliran sungai, dengan rawa-rawa. Penyebaran brugia malayi bersifat fokal, dari Sumatra sampai ke kepulauan Maluku. Yang terkena penyakit ini terutama adalah petani dan nelayan. Kelompok umur dewasa muda paling sering terkena penyakit ini, sehingga produktivitas penduduk dapat berkurang akibat serangan adenolimfangitis yang berulang kali. Cara pencegahan sama dengan filariasis bancrofti (Parasitologi kedokteran).
4.      Daur hidup dan morfologi
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 55 mm x 0,16 mm dan yang jantan berukuran 22-23 mm x 0,09 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung ukurannya adalah 200-260 mikron x 8 mikron. (buku pasitologi kedokteran). Mikrofilaria dari cacing ini juga memiliki sheath. Pada pewarnaan, sheath tersebut biasanya berwarna merah muda terang. Pada slide yang dikeringkan dengan cepat, mikrofilaria cacing ini masih mempertahankan sheath-nya sehingga Nampak terbungkus seluruhnya oleh sheath. Bila mana slide dikeringkan secara perlahan-lahan, Nampak microfilaria ini terlepas dari sheathnya. (Helmintologi kedokteran).
Periodisitas mikrofilaria brugia malayi adalah periodic nokturna, subperiodik nokturna atau non periodik. Brugia malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirositris dan yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur hidup parasit ini cukup panjang, tetapi lebih pendek daripada W.bancrofti. masa perumbuhannya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk parasit ini juga mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III, yang menyerupai perkembangan parasit W.bancrofti. Di dalam tubuh manusia perkembangan parasit ini juga sama dengan perkembangan W.bancrofti (Parasitologi kedokteran edisi ketiga).

5.      Patologi dan gejala klinis
Gejala klinis pada filariasis malayi sama dengan gejala klinis pada filariasis timori. Gejala klinis pada kedua penyakit tersebut tidak sama dengan filariasi bankrofti. Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograde, yang bersifat khas untuk filariasis. Peradangan pada saluran limfe ini dapat dilihat sebagai garis merah yang menjalar kebawah biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis dengan gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan lamanya.  
Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh, tetapi dengan serangan berulang kali, lambat laun pembengkakan tungkai tidak menghilang pada saat gejala peradangan sudah sembuh, akhirnya timbullah elefantiasis. Kecuali kelenjar limfe inguinal, kelenjar linfe lain di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga sering terkena. Alat kelamin dan payudara tidak pernah terkena, kecuali di daerah filariasis brugia yang bersamaan dengan filariasis bankrofti.

6.      Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibuktikan dengan menemukan microfilaria di dalam darah tepi (Parasitologi kedokteran).
1.       Diagnosis parasitologi : sama dengan pada filariasis bankrofti, kecuali sampel berasal dari darah saja.
2.      Radiodiagnosis umumnya tidak dilakukan pada filariasis malayi.
3.      Diagnosis imunologi belum dapat dilakukan pada filariasis malayi.


7.      Pengobatan dan prognosis
filariasis.jpgHingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa Negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Untuk pengobatan masal pemberian dosis standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu) atau garam DEC 0,2 – 0,4 % selama 9-12 bulan. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna, perlu pengobatan ini diulang beberapa kali. Stadium mikrofilaremia, gejala peradangan dan limfedema dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang-kadang elefantiasis dini dan beberapa kasus elefantiasis lanjut, dapat pula diobati dengan DEC (Parasitologi kedokteran).







Gambar 2.5 Mikrofilaria di dalam darah (pembesaran 10 x 40)
 
 



C.     Brugia Timori
1.      Hospes dan nama penyakit
Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh brugia timori disebut filariasis timori. Kedua penyakit tersebut kadang-kadang disebut sebagai filariasis brugia. (Parasitologi kedokteran edisi ketiga).



2.      Distribusi geografi
Burgia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur.

3.      Epidemologi
Brugia malayi dan brugia timori hanya terdapat dipedesaan, karena vektornya tidak dapat berkembang biak diperkotaan. Brugia timori biasanya terdapat didaerah persawahan, sesuai dengan tempat perindukan vektornya, An.barbirostris. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia bagian timur yaitu N.T.T dan timor-timur. Yang terkena penyakit ini terutama adalah petani dan nelayan. Kelompok umur dewasa muda paling sering terkena penyakit ini, sehingga produktivitas penduduk dapat berkurang akibat serangan adenolimfangitis yang berulang kali. Cara pencegahan sama dengan filariasis bankrofti (Parasitologi kedokteran).

4.      Daur hidup dan morfologi
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 21-39 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13-23 mm x 0,08 mm. cacing betina mengeluarkan microfilaria yang bersarung, ukuran microfilaria brugia timori 280-310 mikron x 7 mikron (buku pasitologi kedokteran).  Mikrofilia brugia timori mempunyai sifat periodic noturna. Brugia timori ditularkan oleh nyamuk An. Barbirostris. Daur hidup dari brugia timori cukup panjang, tetapi lebih pendek daripada W.bancrofti. Masa pertumbuhannya didalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Didalam tubuh nyamuk brugia timori juga mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III, menyerupai perkembangan parasit W.bancrofti. didalam tubuh manusia perkembangan brugia timori juga sama dengan perkembangan W.bancfroti (Parasitologi kedokteran edisi ketiga).

5.      Patologi dan gejala klinis
Gejala klinis pada filariasis malayi sama dengan gejala klinis pada filariasis timori. Gejala klinis pada kedua penyakit tersebut tidak sama dengan filariasi bankrofti. Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograde, yang bersifat khas untuk filariasis. Peradangan pada saluran limfe ini dapat dilihat sebagai garis merah yang menjalar kebawah biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis dengan gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan lamanya.
Pada filariasis brugia, system limfe alat kelamin tidak pernah terkena, berbeda dengan filariasis bankrofti. Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh, tetapi dengan serangan berulang kali, lambat laun pembengkakan tungkai tidak menghilang pada saat gejala peradangan sudah sembuh, akhirnya timbullah elefantiasis. Kecuali kelenjar limfe inguinal, kelenjar linfe lain di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga sering terkena. Pada filariasis brugia, elefantiasis hanya mengenai tungkai bawah, dibawah lutut, atau kadang-kadang lengan bawah dibawah siku. Alat kelamin dan payudara tidak pernah terkena, kecuali di daerah filariasis brugia yang bersamaan dengan filariasis bankrofti.



6.      Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibuktikan dengan menemukan microfilaria di dalam darah tepi (Parasitologi kedok). Diagnosis parasitologi : sama dengan pada filariasis bankrofti, kecuali sampel berasal dari darah saja.

7.      Pengobatan dan prognosis
Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa Negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan  filariasis brugia jauh lebih berat, bila dibandingkan denganyang terdapat pada pengobatan filariasis bankrofti.  Untuk pengobatan masal pemberian dosis standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu) atau garam DEC 0,2 – 0,4 % selama 9-12 bulan. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna, perlu pengobatan ini diulang beberapa kali. Stadium mikrofilaremia, gejala peradangan dan limfedema dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang-kadang elefantiasis dini dan beberapa kasus elefantiasis lanjut, dapat pula diobati dengan DEC (Parasitologi kedokteran).
filariasis.jpg








Gambar 2.6 Mikrofilaria di dalam darah (pembesaran 10 x 40)
 
 




EPIDEMIOLOGI FILARIASIS
Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan menjadi masalah di daerah dataran rendah. Di Indonesia, penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah perkotaan, seperti Jakarta, Tangerang, Pekalongan, Semarang hanya W. bancrofti yang telah ditemukan. Daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku dan Papua.
Pemberantasan filariasis sudah dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak 1970 dengan pemberian DEC dosis rendah jangka panjang (10mg / minggu selama 40 minggu).

·         Hospes
Manusia yang mengandung parasit filariasis selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemic (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dibandingkan dengan penduduk asli. Umumnya,pria lebih banyak yang terinfeksi dibandingkan wanita. Dan gejalanya pun lebih nyata pada pria, karena pekerjaan fisik pria lebih berat dibandingkan wanita.

·         Hospes Reservoar
B. malayi dapat hidup pada hewan dan menjadi sumber infeksi bagi manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dank era jenis Presbytis.

·         Vektor
Banyak spesies nyamuk yang telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung jenis cacingnya. W. bancrofti di daerah perkotaan, ditularkan oleh Cx. Quinquefasciatus yang tempat perindukannya pada air kotor dan tercemar. Sedangkan W. bancrofti di daerah pedesaan (rural) dapat ditularkan oleh berbagai macam spesies nyamuk. Di Papua misalnya, W. bancrofti ditularkan oleh An. Farauti yang prindukannya pada bekas jejak kaki binatang (footprint). Selain itu, ditemukan juga An. koliensis, An. punctulatus, Cx. Annulirostris dan Ae. kochi sebagai vector. Di daerah pantai NTT, W. bancrofti ditularkan oleh An. subpictus. Selain itu, nyamuk Culex dan Aedes juga pernah ditemukan sebagai vektor.
B. malayi yang hidup pada manusia dan hewan, biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Ma. Uniformis, Ma. Bonneae, Ma. dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan lain-lain. B. malayi yang periodik, seperti di Sulawesi ditularkan oleh An.barbirostris yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya.
B. timori merupakan spesies yang ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor-Timor, yang ditularkan oleh An. barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman.

·         Faktor Lingkungan
Jenis filariasis yang ada di suatu daerah endemi, dapat diperkirakan dan diduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungannya. Pencegahanna pun, hanya dilakukan dengan cara menghindari gigitan nyamuk.
OCCULT FILARIASIS (Tropical Pulmonary Eosinophilia)
·         Distribusi Geografik
Penyakit ini dilaporkan di Indonesia, Singapura, Vietnam, Muangthai, Afrika dan Curacao.

·         Patologi dan Gejala Klinis
Occult filariasis merupakan penyakit filariasis limfatik, yang disebabkan oleh penghancuran mikrofilaria dalam jumlah berlebih oleh sistem kekebalan tubuh penderita. Mikrofilaria dihancurkan oleh zat anti dalam tubuh hospes akibat hipersensitivitas terhadap antigen mikrofilaria.
Gejala penyakit ini ditandai dengan hipereosinofilia, peningkatan kadar antibody IgE dan antifilaria IgG4, kelainan klinis yang menahun berupa pembengkakan kelenjar limfe dan gejala asma bronchial. Hipereosinofilia merupakan salah satu tanda utama dan gejala ini seringkali merupakan petunjuk kearah etiologi penyakit tersebut. Jumlah leukosit biasanya ikut meningkat akibat meningkatnya jumlah sel eosinofil di dalam darah. Kelenjar yang paling sering terkena adalah kelenjar limfe inguinal. Kadang-kadang dapat pula terkena pada kelenjar limfe leher, lipat siku atau kelenjar limfe ditempat lain. Dapat pula berupa pembesaran kelenjar limfe di seluruh tubuh, menyerupai penyakit Hodgkin.
Bila paru terkena, maka gejala klinisnya dapat berupa batuk dan sesak napas, terutama pada malam hari dengan dahak yang kental dan mukopurulen. Foto rontgen paru memperlihatkan garis-garis yang berlebih pada kedua hilus dan bercak-bercak halus terutama di lapangan paru bawah. Gejala lain, dapat berupa demam subfebril, pembesaran limpa dan hati.
Mikrofilaria tidak ditemukan di dalam darah, tetapi mikrofilaria atau sisa-sisanya dapat ditemukan di jaringan kelenjar limfe, paru, limpa dan hati. Pada jaringan tersebut, terdapat benjolan-benjolan kecil berwarna kuning kelabu dengan penampang 1-2 mm, terdiri dari infiltrasi sel eosinofil yang dikenal dengan nama Meyers Kouwenaar. Di dalam benda-benda inilah dapat ditemukan sisa-sisa mikrofilaria.

·         Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, hipereosinofilia, peningkatan kadar IgE yang tinggi, peningkatan zat anti terhadap mikrofilaria dan gambaran rontgen paru.
Konfirmasi diagnosis tersebut adalah dengan menemukan benda Meyers Kouwenaar pada sediaan biopsy atau dengan melihat perbaikan gejala setelah pengobatan dengan DEC.



·         Pengobatan
Obat pilihan adalah DEC dengan dosis 6 mg / kgBB / hari selama 21-28 hari. Pada stadium awal, penderita dapat disembuhkan dan parameter darah dapat pulih kembali sampai pada kadar yang hampir normal. Pada stadium klinis lanjut, seringkali terdapat fibrosis dalam paru dan dalam keadaan tersebut, fungsi paru mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya. Penderita TPE memberikan respons yang rendah pada pengobatan bronkodilator dan steroid.

D.    Loa-Loa (Cacing Loa, Cacing Mata)
1.      Sejarah
Untuki pertama kali Mongin pada tahun 1770 mengeluarkan cacing dewasa Loa-loa dari mata seorang perempuan Negro di Santo Domingo.

2.      Hospes Dan Nama Penyakit
Parasit ini hanya ditemukan pada manusia.
Penyakitnya disebut loaiasis atau calabar swelling (fugitive swelling).

3.      Distribusi Geografik
Parasit ini tersebar di daerah khatulistiwa di hutan yang berhujan (rain forest) dan sekitarnya. Terutama terdapat di Afrika Barat, Afrika Tengah, dan Sudan. Ditemukan di Afrika tropik bagian barat dari Sierra Leone sampai Angola, lembah Sungai Kongo, Republik Kongo, Kamerun, dan Nigeria bagian Selatan.

4.      Morfologi dan Daur Hidup
·           Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan dan konjungtiva mata.
·           Cacing betina berukuran 50-70 x 0,5 mm dan yang jantan berukuran 30-34 x 0,35-0,43 mm.
·           Cacing betina mengeluarkan mikrofilari yang beredar dalam darah pada siang hari (diurna). Sedangkan pada malam hari mikrofilaria berada dalam pembuluh darah paru.
·           Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250-300 mikron x 6-8,5 mikron. Dapat ditemukan dalam urin, dahak, dan kadang-kadang ditemukan dalam cairan sum-sum tulang belakang.
·           Parasit ini ditularkan oleh lalat Chrysops. Mikrofilaria yang beredar dalam darah diisap oleh lalat dan setelah kurang lebih 10 hari di dalam badan serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi larva inefektif dan siap ditularkan kepada hospes lainnya.
·           Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia dalam waktu 1-4 tahun, berkopulasi dan cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria.

5.      Patologi dan Gejala Klinis
Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan subkutan dan mikrofilari yang beredar dalam darah seringkali tidak menimbulkan gejala. Cacing dewasa dapat ditemukan diseluruh tubuh dan sering menimbulkan gangguan di konjungtiva mata dan pangkal hidung. Menimbulkan iritasi pada mata, mata sembab, sakit, pelupuk mata menjadi bengkak sehingga mengganggu penglihatan. Secara psikis pasien menderita. Pada saat tertentu pasien menjadi hipersensitif terhadap zat sekresi yang dikeluarkan oleh cacing dewasa dan menyebabkan reaksi radang bersifat temporer. Kelainan yang khas dikenal dengan calabar swelling atau fugitive swelling. Pembengkakan jaringan yang tidak sakit dan non-pitting ini dapat menjadi sebesar telur ayam. Terdapat di tangan, lengan, atau sekitarnya. Timbul secara spontan dan menghilang setelah beberapa hari atau seminggu sebagai manifestasi supersensitive hospes terhadap parasite. Masalah utama bila cacing masuk ke otak dan menyebabkan ensefalitis. Cacing dewasa dapat ditemukan dalam cairan serebrospinal pada orang yang menderita meningoensefalitis.

6.      Diagnosis
·           Diteukan mikrofilaria dalam darah pada siang hari.
·           Ditemukan cacing dewasa pada daerah konjungtiva mata dan daerah subkutan.

7.      Pengobatan
·           Obat utama untuk pengobatan loaiasis yaitu Dietilkarbamasin (DEC). Dengan dosis 2 mg/kg brat badan/hari, diberikan 3 kali sehari sesudah makan selama 14 hari. DEC dapat membunug mikrofilaria dan cacing dewasa. Obat ini bersifat profilaksis terhadap infeksi parasit. Saat ini mulai dicoba pengobatan dengan ivermectin.
·           Cacingdewasa di dalam mata dikeluarkan dengan pembedahan yang dilakukan oleh seorang ahli.

8.      Prognosis
Prognosis biasanya baik bisa cacing dewasa dapat dikeluarkan melalui mata ataubila pengobatan berhasil dengan baik.

9.      Epidemiologi
Daerah endemic adalahdaerah lalat Chrysops silacea dan Chrysops dimidiate yang emmpunyai tempat perindukan di hutan hujan dengan kelembaban tinggi. Lalat ini menyerang manusia yang sering masuk hutan, dan sering ditemukan pada pria dewasa.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari gigtanlalat ataupemberian obat sebulan sekali selama 3 hari berturut-turut.
Loa-loa-Mic2.jpg








Gambar 2.6  Loa-loa
 
 




E.     Onchocerca volvulus
1.      Sejarah Dan Pengertian
O’Neil meneliti mikrofilaria parasit ini di dalam kulit seorang penderita di Afrika Barat pada tahun 1875. Kemudian seseorang dokter Jerman menemukan cacing dalam benjolan kulit dari orang Negro di Ghana, Afrika Barat, lalu dinamakan sebagai Filaria volvulus oleh Leuckard 1893. Tahun 1915 Robles menemukan cacing Onchocerca di Guatemala dan oleh Brumpt diidentifikasi sebagai cacing Onchocerca caecutiens, tetapi kemudian dinamakan cacing Onchocerca volvulus.(Sutanto,dkk.2008).
Onchocerca volvulus merupakan nematode filarial yang ditularkan oleh lalat hitam (black flies) (Robbins, 2007)
Nama lainnya yaitu Onchocerca Caecutiens(Brumpt,1919). Infeksi cacing ini menyebabkan Onchocerciasis disebut juga Onchocercosis, coastal, erysipelas, blinding filiaris atau river blindness.

2.      Morfologi
Cacing dewasa berwarna putih, dengan garis transversal pada kutikula, filiform dengan ujung tumpul. Pada bagian anterior terdapat 8 papila kecil. Untuk cacing jantan ukurannya 19-42 cm x 130-210 m, dengan ujung posterior melengkung ke ventral, terdapat papilla perianal dan kaudal yang ukuran dan jumlahnya bervariasi. Sedangkan cacing ukurannya relative lebih besar, yaitu 33,5-50 cm x 270-420 m, vulva sedikit terbuka keatas terletak sedikit di belakang esofagus bagian posterior. Di dalam uterus terdapat larva(mikrofilaria) yang akan dilahirkan dan akan membebaskan diri dari sarungnya. Cacing betina ini dapat menghasilkan mikrofilaria selama 9-10 tahun. Mikrofilaria termasuk kelompok tidak bersarung, terdapat dua ukuran yaitu 285-368 x 6-9 m dan 150-287 x 5-7 m. Pada bagian anterior dan posterior tidak terdapat inti.




3.      Daur Hidup
Hospes perantara cacing ini yaitu genus simulium atau lalat hitam. Siklus hidupnya yaitu
mikrofilaria masuk pada gigitan, larva dewasa masuk melalui kulit manusia. Kemudian larva akan menjadi filaria dewasa terlokalisir dan akan melepaskan microfilaria dalam pembuluh darah. (Underwood,2008).

Gambar Siklus Mikrofilaria dari Ovulus Onchocerca (Sumber : Buku Parasitologi Kedokteran, hal. 149)

Kemudian Simulium mengisap sari jaringan kulit sehingga microfilaria juga ikut terisap. Mikrofilaria menembus lambung lalat menuju otot thorax mengadakan dua kali penyilihan kulit sehingga dalam 6 hari telah terbentuk larva infektif yang segera bergerak menuju labium, sehingga pada saat lalat menginjeksi hospes microfilaria pun terikutkan.
Pada hospes, cacing ini biasa ditemukan di dalam benjolan(nodul) pada jaringan ikat subkutan, kadang-kadang terdapat di jaringan lebih dalam, tidak teraba diluar. Nodul ini dapat terjadi disetiap badan tetapi paling banyak di daerah pelvic, daerah persambungan tulang dan di kepala terutama daerah temporal dan oksipital. Menurut Garcia,1997, microfilaria dapat ditemukan (jarang) pada urin, darah dan sputum. Cacing ini dapat hidup selama 11 tahun. Masa inkubasi pada manusia tidak jelas, diduga kurang lebih satu tahun.

4.      Epidemiologi
Penyebarannya terdapat didaerah Afrika tropic, Amerika tengah, dan Selatan terutama daerah di sekitar sungai.
Sampai saat ini masih tercatat ada 20-40 juta orang yang terinfeksi dan 2 juta diantaranya mengalami kebutaan. Kebanyakan penderita tinggal di daerah sekitar sungai yang arusnya deras, karena simulium spp suka berkembang biak di daerah itu. Jumlah cacing per penderita biasanya semakin meningkat dengan bertambahnya umur penderita dan tentu saja sangat berhubungan dengan intensitas transmisi serta lamanya pemaparan.
(Sutanto,dkk. 2008)
Penyakit ini ditemukan baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Infeksi yang menahun seringkali diakhiri dengan kebutaan. Kebutaan terjadi pada penduduk yang berdekatan dengan sungai, makin jauh dari sungai kebutaan semakin berkurang oleh karena itu penyakit ini dikenal dengan river blindness. (Sandjaja,2007)

5.      Patogenesis Dan Gejala Klinis
Dimulai dari orang-orang yang mandi dan bekerja di tepi sungai yang telah terinfeksi oleh parasit dari lalat hitam(stimulum). Larva akan menembus kulit manusia dan berkembang di dalam jaringan perifer menjadi cacing dewasa.  Cacing ini kemudian akan kawin dan melepaskan microfilaria dalam darah ke jaringan tubuh. Di sekitar cacing terdapat banyak sel PMN, sel plasma serta eosinofil kadang – kadang giant cell.
Cacing ini kawin dalam dermis hospes, dikelilingi oleh sel-sel radang hospes yang memproduksi nodul subkutaneus(Onkoserkoma). Nodulus subkutan tidak nyeri, keras yang mengandung parasit dewasa dan dapat teraba. Pada cacing dewasa yang tinggal pada daerah pertemuan saluran limfe, jaringan subkutan yang dibatasi oleh pembentukan jaringan  fibrosis biasanya tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata. Pada infeksi kronis dan berat (orang dewasa diatas 20 tahun) akibat cacing betina yang melepaskan banyak microfilaria pada jaringan subkutan dan jaringan okuler, maka akan menyebabkan dermatitis pruritis, dan penyakit mata (kreatitis punktata, pembentukan pannus kornea,korioretinits). Mula –mula mata merasa silau, hilangnya sebagian penglihatan bahkan akhirnya buta. Terjadinya komplikasi pada mata lebih sering pada infeksi yang multiple (Puig Solanes dkk,1948). Perubahan pada kulit dapat membuat terjadi penebalan serta pengerutan kulit menimbulkan gambaran “lizzard” atau “elephant” skin. Pada infeksi kronik, menimbulkan atropi kulit yang memberikan gambaran “tissue paper”. Jika melibatkan kelenjar inguinocrural mungkin akan memperlihatkan “hanging groin”(W.Peters & H.M.Gillers,1977).

6.      Diagnosis
Dengan peragaan parasit pada potongan isolasi yang diambil dari pantat/tungkai atau dengan visualisasi dengan lampu celah microfilaria dalam kornea atau kamera okuli anterior. Dan juga dengan menemukan mikcrofilaria dalam nodul. Selain itu dengan tes imunologi.  Imunodiagnostik karena biasanya sulit mendapatkan parasitnya. Tes imunologi dapat dilakukan dengan teknik complement–fixation test dengan menggunakan ekstrak cacing sebagai antigen (Van Hoof, 1934).Deteksi adanya antibody spesifik lainnya dapat pula dilakukan dengan tes ELISA, pada awal infeksi sebelum ditemukan microfilaria. Pada kasus yang terdapat kecurigaan penyakit akan tetapi tidak ditemukan parasitnya,dapat dilakukan tes Mazzotti yang merupakan tes kulit dan mata tidak boleh dilakukan jika microfilaria ditemukan dalam mata (Neva FA,1994:WHO,1995).

7.      Terapi
Ada beberapa cara yang dapat di lakukan diantaranya :
a.       Pemberian DEC
b.      Anti histamine.
c.       Hetrazan untuk membunuh microfilaria. Dianjurkan secara pemberiannya, hari pertama di berikan peroral 0,1 mg per- kg berat badan dosis tunggal : hari kedua 0,1 mg per-kg berat badan dengan 3 kali pemberian. Selanjutnya setiap tiga hari diberikan 3-4 mg per-kg berat badan, dilakukan untuk tiga kali pemberian,selama dua minggu. Efek hetrazan terhadap cacing dewasa lebih lambat dari pada microfilaria.
d.       Suramin untuk membunuh cacing dewasa. Suramin dalam larutan 10% di berikan intra vena dengan dosis 1 gram per minggu, dibarikan dalam waktu 5 minggu berturut-turut.
e.       Operasi mengangkat nodul (benjolan).
f.       Pada anak-anak dengan gejala kulit dan atau penyakit mata harus diobati dengan ivermektin(150µm/kg sebagai dosis tunggal). Dosis ulangan 6-12 bulan kemudian diberikan jika ditemukan microfilaria dalam kulit atau mata. Obat ini tidak boleh diberikan kepada orang-orang dengan gangguan system saraf sentral.
















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Nematoda jaringan, berbeda dengan nematoda usus yang hidupnya hanya di usus. Spesies cacing yang tergolong ke dalam Nematoda jaringan hidup di berbagai jaringan tubuh. Cacing dewasa W. bancrofti, hidup di saluran dan kelenjar limfe; cacing dewasa Brugia malayi dan Brugia timori hidupnya di pembuluh limfe; cacing dewasa Loa-loa hidup dalam jaringan subkutan; dan cacing dewasa Onchocerca volvulus hidup dalam jaringan ikat.

B.     SARAN
Kepada masyarakat disarankan untuk menjaga higinitas dan sanitasi perorangan maupun lingkungan dengan baik. Selalu mencuci tangan dengan bersih sebelum memegang makanan, melindungi diri dari gigitan nyamuk dan lalat, khususnya menghindari gigitan lalat jenis Simulium dan menggunakan pakaian tebal yang melindungi seluruh tubuh (bentuk pencegahan terhadap penyakit onkoserkosis).








DAFTAR PUSTAKA

1.      Kazura, Jamez. 1996. Onkosersiasis. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.2. Jakarta : Buku Kedokteran. Hal : 1231. 
2.      L.A Juni Prianto, P.U Tjahaya, Darwanto. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1995. Hal : 28-37.
3.      Sandjaja, Bernardus Dr. Helmintologi Kedokteran. Buku II. Jakarta : Penerbit Prestasi Pustaka, 2007. Hal : 148-154.
4.      Natadisastra Djaenudin, Agoes Ridad (edeitor). Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : Penerbit EGC, 2009. Hal :152-156.
5.      Sutanto Inge, Ismid Suhariah Is, Sjarifuddin Pudji K, Sungkar Saleha (editor). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008. Hal : 32-48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar