MAKALAH
PARASITOLOGI
TREMATODA
OLEH
NAMA : ODI P SEMBOARI
NIM : 0090840007
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
CENDERAWASIH
JAYAPURA
– PAPUA
2013
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatnya-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan tugas makalah ini tentang “Trematoda” dengan baik dan lancar.
Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pengajar
mata kuliah parasitologi yang telah memberikan tanggung jawab
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini sebagai bentuk pemenuhan tugas
matakuliah Parasitologi Kedokteran yang diberikan.
Kami
menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik serta saran dari dokter dan para pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan
makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Jayapura,
29 Juli 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR
ISI........................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1.Latar
belakang.................................................................................. 1
1.2.Rumusan
Masalah............................................................................ 3
1.3.Tujuan
Penulisan.............................................................................. 3
1.4.Sistematika
Penulisan....................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN......................................................................... 5
2.1
Morfologi Trematoda
....................................................................... 5
2.2
Klasifikasi Trematoda Umum........................................................... 14
2.3
Siklus Hidup Trematoda................................................................... 18
2.4 Gejala
Klinis..................................................................................... 20
2.5
Pencegahan
...................................................................................... 21
BAB
III
PENUTUP................................................................................. 22
3.1
Kesimpulan...................................................................................... 22
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................. 23
BAB
I
PENDAHULUAN
Cacing
daun yang dikenali merupakan jenis cacing yang tergolong dalam kelas Trematoda
filum Platyhelmintes. Cacing daun ini bersifat parasit. Pada umumnya cacing ini
bersifat hermafrodit, kecuali cacing schistosoma.
Spesies yang menjadi parasit pada manusia merupakan golongan subkelas Dignea,
yang hidup sebagai endoparasit. Sebagian besar caciang trematoda ditemukan di
benua Asia dan Afrika, beberapa spesies yang ditemukan di Indonesia seperti Fasciolopsis buski (Kalimantan), Echinostoma (Jawa dan Sulawesi), Heterophydae (Jakarta), Schistosoma japonicum (Sulawesi Tengah).
2
Cacing
ini menular melalui beberapa hospes antara yaitu kucing, anjing, kambing, sapi,
babi, tikus, burung, musang, harimau, dan manusia. Trematoda juga dibagi
menurut tempat hidup, yaitu trematoda hati/Liver
flukes (Clonorcis sinensis, Opisthoracis felineus, Opisthoracis Viverrini, dan
Fasciola), Trematoda usus/ Intestinal
flukes (Fasciolopsis buski, Echinostomatidae, dan Heterophyidae), Trematoda
Paru/Lung fluks (Paragonimus westermani),
dan Trematoda Darah/Blood Flukes (Schistosoma japonicum, Schistosoma
mansoni, dan Schistosoma haematobium).
Cacing
ini biasanya berbentuk pipih dorsoventral, simetri dan tidak mempunyai rongga
badan. Ukurannya bervariasi mulai dari 1 mm sampai 75 mm. Ciri khas cacing ini
adalah terdapat dua batil isap yaitu batil isap mulut dan batil isap perut ada
juga spesies yang memiliki batil isap genital. Trematoda memiliki saluran
pencernaan berbentuk huruf Y terbalik dan pada umumnya tidak memiliki alat
pernapasan khusus karena hidup secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat
simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan saraf dimulai
dengan ganglion di bagian dorsal esofagus, kemudian terdapat saraf yang
memanjang di bagian dorsal, ventral dan lateral badan. Cacing dewasa hidup di
dalam tubuh hospes defenitif. Telur diletakan dalam saluran hati, rongga usus,
paru, pembulug darah atau di jaringan tempat cacing hidup dan telur biasanya
keluar bersama tinja, dahak atau urin. Kebanyakan sel telur yang terdapat dalam
telur dan pada beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium (M) yang
mempunyai bulu getar. Telur matang yang sudah mengandung mirasidium menetas
dalam air. Proses pematangan spesies telur trematoda yang mengandung sel telur
berlangsung selamakurang lebih 2-3 minggu. Pada beberapa spesies tramatoda,
telur matang menetas bila ditelan hospes perantara (keong) dan keluarlah
mirasidium yang masuk dalam jaringan keong; atau telur langsung dapat menetas
dan mirasidium berenang di air. Untuk dapat melanjutkan perkembangannya
mirasidium harus dapat menemukan keong air (hospes perantara pertama (HP I) dalam
waktu kurang dari 24 jam. Ketika berada dalam keong air mirasidium berkembang
menjadi sporokista (S) yaitu sebuah kantong yang mengandung embrio, bentuknya
berupa kantong yang sudah memilik mulut, faring, dan sekum. Sporokista ini
dapat mengandung sporokista lain atau redia (R). Dalam sporokista II atau redia
(R), larva berkembang menjadi serkaria (SK). Serkaria kemudian keluar dari
keong air dan mencari hospes perantara II yang berupa ikan, tumbuh – tumbuhan
air, ketam, udang batu dan keong air lainnya atau dapat menginfeksi hospes
defenitif lainnya seperti pada Schistosoma.
Dalm hospes perantara II serkaria berubah menjadi metaserkaria yang
berbentuk kista. Hospes defenitif yang memakan memakan hospes perantara II yang
mengandung metaserkaria akan terinfeksi jika tidak dimasak atau diolah dengan
baik. Cacing Schistosoma menginfeksi
hopes defenitif dengan cara serkaria menembus kulit, kemudian berubah menjadi
skistosomula lalu berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes. 2
Kelainan
yang disebabkan oleh cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing di dalam
tubuh hospes. Selain itu rangsangan setempat dan zat toksin yang dikeluarkan
oleh cacing turut berpengaruh. Reaksi sistemik terjadi karena tubuh menyerap
toksin yang dikeluarkan oleh cacing tersebut yang kemudian akan menimbulkan
gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Sementara cacing daun yang
hidup dalam rongga usus biasanya tidak memberi gejala atau hanya gejala
gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Cacing
daun yang hidup di paru seperti Paragonimus,
bisa menimbulkan gejala batuk, sesak napas dan batuk berdarah (hemoptisis).
Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis dan Fasciola
dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu
sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainnya adalah peradangan hati
sehingga terjadi hepatomegali. Jika dibiarkan berlarut – larut akan menyebabkan
sirosis hati. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, terutama telurnya
menimbulkan kelainan berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya fibrosis
jaringan alat yang diinfiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus,
dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan alat lainnya.2
1.2.Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
kehidupan dari Trematoda?
2. Klasifikasi
Trematoda berdasarkan organ tubuh yang menjadi inangnya?
3. Siklus
hidup Trematoda?
4. Bagaimana proses pencegahan dari Trematoda?
1.3.Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui morfologi dari Trematoda.
2. Untuk mengetahui klasifikasi Trematoda berdasarkan
organ tubuh yang menjadi inangnya.
3. Untuk mengetahui siklus hidup dari Trematoda.
4. Untuk mengetahui proses pencegahan dari Trematoda
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari makalah
terdiri dari 3 Bab, yaitu: Bab I atau pendahuluan Berisi tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan serta sestematika penulisan; Bab II
atau pembahasan yang meliputi Morfologi
Trematoda, Klasifikasi Trematoda Umum, Siklus Hidup
Trematoda, Gejala Klinis dan Pencegahan; Bab III Penutup yang
berintikan Kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Morfologi
Trematoda
Pada umumnya
bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral
dan simetri, bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang
cacing dewasa sangat beranekaragam dari 1 mm sampai kurang lebih 75 mm. tanda
khas lainnya adalah terdapatnya dua buah batil isap, yaitu batil isap mulut dan
batil isap perut. Beberapa spesies mempunyai batil isap genital. Saluran
pencernaan menyerupai huruf Y terbalik yang di mulai dengan mulut dan berakhir
buntu pada sekum. Pada umumnya trematoda tidak mempunyai alat pernapasan
khusus, karena hidupnya secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior.
Susnan saraf di mulai dengan ganglion di bagian dorsal esofagus, kemudian
terdapat saraf yang memanjang di bagian dorsal, ventral dan lateral badan.
Cacing ini bersifat hermafrodit dengan alat reproduksi yang kompleks.
Cacing dewasa
hidup di dalam tubuh hospes definitif. Telur diletakan di saluran hati, rongga
usus, paru, pembuluh darah, atau di jaringan tempat cacing hidup dan telur
biasanya keluar bersama tinja, dahak atau urine. Pada umumnya telur berisi sel
telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium (M) yang
mempunyai bulu getar. Bila sudah mengandung mirasisium telur,menetes di dalam
air (telur matang). Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur berisi sel
telur, telur akan menjadi matang dalam waktu kurang lebih 2-3 minggu. Pada
beberapa spesies trematoda, telur matang menetes bila ditelan keong (hospes
perantara) dan keluarlah mirasidium yang masuk ke dalam jaringan keong, atau
telur dapat langsung menetas dan mirasidium berengang di air, dalam waktu 24
jam mirasidium harus sudah menemukan keong air agar dapat melanjutkan perkembangannya.
Keong air di sini berfungsi sebagai hospes perantara pertama (HP I). Dalam
keong air tersebut mirasidium berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi
embryo, disebut sporokista (S). Sporokista ini dapat mengandung sporookista
lain atau redia (R), bentuknya berupa kantung yang sudah mempunyai mulut,
faring dan sekum. Di dalam sporokista II atau redia (R), larva berkembang
menjadi serkaria (SK).
Perkembangan larva dalam hospes
perantara I terjadi sebagai berikut :
M S
R SK : Misalnya
Clonorchis Sinensis
M S1 S2
SK
: Misalnya Schistosoma
M S
R1 R2 SK : Misalnya Trematoda lainnya
Serkaria kemudian keluar dari keong air
dan mencari hospes perantara II yang berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, katam,
udang batu dan keong air lainnya, atau dapat menginfeksi hospes definitif
secara langsung seperti pada Schistosoma.
Dalam hospes perantara II serkaria
berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Hospes definitif
mendapat infeksi bila makan hospes perantara II yang mengandung metaserkaria
yang tidak dimasak dengan baik. Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes
definitif, yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi
cacing dewasa dalam tubuh hospes.
2.1.1. Hospes
Berbagai macam hewan
dapat berperan sebagai hospes definitif cacing trematoda antara lain kucing,
anjing, kambing, sapi, babi, tikus, burung, musang, harimau, dan manusia.
Menurut tempat hidup
cacing dewasa dalam tubuh hospes, maka trematoda dapat dibagi dalam :
1 Trematoda
hati (Liver flukes)
a.
Clonorchis
Sinensis
Hospes :
Terdapat pada manusia, kucing, anjing,
beruang kutub, dan babi, penyakitnya disebut
Klonorkiasis.
Morfologi
dan Daur Hidup :
Hidup di saluran empedu, kadang-kadang
ditemukan di saluran pankreas. Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuk
pipih,lonjong menyerupai daun.
Gambar 1. Cacing Clonorchis
sinensis dewasa
Telur
berukuran kira-kira 30-16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan
berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu.
Gambar 2. Telur cacing Clonorchis sinensis
b.
Opisthorchis
Felineus
Hospes
:
Terdapat pada kucing, anjing, dan
manusia merupakan hospes penyakit ini, penyakitnya disebut Opistorkiasis.
Morfologi
dan Daur Hidup :
Hidup dalam saluran empedu dan saluran
pankreas. Cacing dewasa berukuran 7-12 mm, mempunyai batil isap mulut dan batil
isap perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral. Telur jenis ini mirip
dengan C.Sinensis hanya bentuknya
lebih langsing.
Infeksi terjadi dengan dengan makan ikan
yang mengandung metaserkaria dan dimasak kurang matang.
c.
Opisthirchis Viverrini
Morfologi
dan Daur Hidup :
Mirip dengan Opisthorchis Felineus. Infeksi terjadi
dengan makan ikan mentah yang mangandung mataserkaria.
Gambar 3. Cacing Opistorchisviverrini
dewasa
d.
Fasciola
hepatica
Hospes :
Terdapat
pada kambing dan Sapi, dan kadang-kadang parasit ini juga ditemukan pada
manusia. Penyakitnya disebut fascioliasis.
Morfologi dan Daur
Hidup :
Cacing dewasa mempunyai
bentuk pipih seperti daun, besarnya kurang lebih 30x13mm. bagian anterior
berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut
yang besarnya kurang lebih 1mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat
batil isap perut yang besarnya kurang lebih 1,6mm. saluran pencernaan
bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga
bercabang-cabang.
Gambar
4. Cacing Fasciola hepatica dewasa
Telur cacing ini
berukuran 140x90 mikron, dikeluarkan melalui selauran empedu ke dalam tinja
dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9-15 hari
dan berisi mirasidium.
Gambar
5. Telur Cacing Fasciola hepatica
2 Trematoda
Paru (Parangominus westermani)
Hospes
:
Manusia dan binatang yang memakan ketam atau udang
batu, seperti kucing, musang, anjing, harimau, serigala, dll.
Morfologi dan Daur Hidup :
Cacing dewasa hidup dalam kista di paru. Bentuknya
bundar lonjong,menyerupai biji kopi, dengan ukuran 8-12 x 4-6mm dan berwarna
coklat tua. Batil isap mulut hampir sama besar dengan batil isap perut. Testis
berlobus terletak berdampingan antara batil isap perut dan ekor. Ovarium
terletak di belakang batil isap perut. Telur berbentuk lonjong yang berukuran
80-118 mikron x 40-60 mikron dengan oper kolum agak tertekan ke dalam.
3 Trematoda
Usus
a.
Fasciolidae
Hospes :
Kecuali
manusia dan babi yang dapat menjadi hospes definitif cacing tersebut, hewan
lainnya seperti anjing dan kelinci juga dihinggapi. Penyakitnya disebut
Fasiolopsiasis.
Morfologi dan Daur Hidup.
Cacing
dewasa yang ditemukan pada manusia mempunyai ukuran panjang 2-7,5cm dan lebar
0,8 – 2,0 cm. Bentuknya agak lonjong dan tebal. Biasanya kutikulum ditutupi
duri-duri kecil yang letaknya melintang
duri-duri tersebut sering rusak karena cairan usus. Batil isap kepala berukuran
kira-kira seperempat ukuran batil isap perut. Saluran pencernaan terdiri dari
prefaring yang pendek, faring yang menggelembung, esofagus yang pendek, serta
sepasang sekum yang tiudak bercabang dengan dua indentasi yang khas. Dua buah
testis yang bercabang-cabang letaknya agak tandem di bagian posterior cacing.
Vitelaria letaknya lebih lateral dari sekum, meliputi badan cacing setinggi
batil isap perut sampai ke ujung badan.ovarium bentuknya agak bulat. Uterus
berpangkal pada ootip, berkelok-kelok ke arah anterior badan cacing, untuk
bermuara pada atrium genital, pada sisi anterior batil isap pertut.
Telur
berbentuk agak lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuag operkulum
yang nyaris terlihat pada sebuah kutubnya, berukuran panjang 130-140 mikron dan
lebar 80-85 mikron. Setiap ekor cacing dapat mengeluarkan 15.000-48.000 butir
telur sehari.
b. Echinostomatidae
Hospes :
Hospes
jenis ini beraneka ragam yaitu manusia, tikus, anjing, burung, ikan, dll
(Poliksen). Penyakitnya disebut Ekinostomiasis.
Morfologi dan Daur
Hidup :
Cacing
trematoda dari keluarga Echinostomatidae,
dapat dibedakan dari cacing-cacing trematoda lain, dengan adanya ciri-ciri
khas berupa duri-duri leher dengan jumlah antara 37 buah sampai kira-kira 51 buah.
Letaknya dalam dua baris berupa tapal kuda, melingkari bagian belakang serta
samping batil isap kepala. Cacing tersebut berbentuk lonjong berukuran panjang
dari 2,5 mm hingga 13-15 mm dan lebarnya 0,4 – 0,7 mm hingga 2,5 – 3,5 mm.
Testis
berbentuk agak bulat, berlekuk-lekuk, letaknya tersusun tandem pada bagian
posterior cacing. Vitelaria letaknya sebelah lateral, meliputi duapertiga badan
cacing dan melanjut hingga bagian posterior cacing. Cacing dewasa hisup dalam
usus halus, mempunyai warna agak merah keabu-abuan. Telur mempunyai operkolum,
besarnya berkisar antara 103-137 x 59-75 mikron. Telur setelah tiga minggu
dalam air , berisi tempayak yang disebut mirasidium. Bila telur menetas ,
mirasidium keluar dan berenang bebas untuk
hinggap pada hospes perantara I yang berupa keong jenis kecil seperti
genus Anisus, Gyraulus,, Lymnaea dan
sebagainya.
c.
Heterophyidae
Hospes :
Cacing
ini sangat banyak, umumnya mahkluk pemakan ikan ini seperti manusia, kucing,
anjing, rubah, dan jenis burung-burung tertentu. Nama penyakitny adalah
Heterofiliasis.
Morfologi dan Daur
Hidup :
Cacing
dari keluarga Heterophyidae berukuran
panjang antara `1-1,7 mm dan lebar antara 0,3-0,75 mm,kecuali genus Haplorcis
yang jauh lebih kecil, yaitu
panjang 0,41-0,51 mm dan lebar 0,24-o,3
mm di samping batil isap kelamin yang terdapat di sebelah kiri belakang.
Morfologi
dan Daur Hidup :
Cacing ini mempunyai 2 buah testis yang
lonjong , ovarium kecil yang agak bulat dan 14 bua folikel vitelin yang
letaknya lateral. Bentuk uterus sangat berkelok-kelok, letaknya diantara kedua
sekum. Telur berwarna agak coklat muda,mempunyai operkulum, berukuran 26,5-30 x
15-17 mikron, berisi mirasidium.
Mirasidium
yang keluar dari telur, menghinggapi keong
air tawar/payau , seperti genus pirenella,
Cerithidia, Semisulcospira, sebagai hospes perantara I dan ikan dari genus Mugil, Tilapia, Aphanius, Achantogobius,
Clarias dan lain-lain sebai hospes perantara II. Dalam keong , mirasidium
tumbuh menjadi sporokista, kemudian menjadibanyak redia induk, berlanjut
menjadi banyak redia anak untuk pada gilirannya membentuk banyak serkaria.
Serkaria ini menghinggapi ikan-ikan tersebut menjadi metaserkaria.
4 Trematoda
Darah
a.
Schistosoma
atau Bilharzia
Hospes :
Hospes
definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes
reservoar. Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit Skistomosiasis atau
Bilharziasis.
Morfologi dan Daur
Hidup :
Cacing
dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5 mm
x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat
tonjolan halus sampai kasar tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan
terdapat canalis gynaecophorus,
tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di
permukaan cacing jantan. Cacing betina badanya lebih halus dan panjang
berukuran 16,0-26,0 mm x 0,3 mm pada umumnya uterus 50-300 butir telur. Cacing
trematoda ini hidup di pembulih darah terutama dalam kapiler darah dan vena
kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau kandung kemih. Cacing betina
meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur
cacing Schistosoma mempunyai duri dan
lokalisasi duri tergantung pada spesiesnya. Telur berukuran 95-135 x 50-60
mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, berimigrasi ke
jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus, atau kandung kemih untuk kemudian di
temukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air dan larva yang
keluar disebut mirasidium.
b.
Schistosoma
Japonicum
Hospes :
Hospesnya
adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus
sawah (rattus), sapi, babi rusa dan
lain-lain. Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental schistosomiasis, skistomiasis japonika, penyakit Ktayama
atau penyakit demam keong.
Morfologi dan Daur
Hidup :
Cacing
dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5cm dan betina kira-kira 1,9cm, hidupnya di
vena mesenterika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga
di alat-alat dalam seperti hati,paru dan otak.
c.
Schistosoma
mansoni
Hospes :
Hospes
definitif adalh manusi dan kera baboon di Afrika sebagai hospes reservoar. Pada
manusia cacing ini menyebabkan skistosomiasis usus.
Morfologi
dan Daur Hidup :
Cacing
dewasa jantan berukuran kira-kira 1cm dan betina kira-kira 1,4cm. Pada badan
cacing jantan S. Mansoni terdapat tonjolan lebih kasar bila
dibandingkan dengan S. Haematobium
dan S.japonicum. Badan S.japonicum mempunyai tonjolan yang
lebih halus. Tempat hidupnya di vena, kolon dan rectum. Telur juga tersebar ke
alat-alat lain seperti hati, paru dan
otak.
d.
Schistosoma
haematobium
Hospes :
Hospes
definitif adalah manusia. Cacing ini
meyebabkan skistomiasis kandung kemih. Baboon dan kera lain dilaporkan sebagai
hospes reservoar.
Morfologi dan Daur
Hidup :
Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira
1,3 cm danyang betina kira-kira 2,0cm. Hidupnya di vena panggul kecil, terutama
di vena kandung kemih. Telur ditemukan di urin dan alat-alat dalam lainnya,
juga di alat kelamin dan rectum.
2.2. Klasifikasi Trematoda Umum
Phylum Platyhelminthes terdiri atas tiga kelas, yaitu
Turrbellaria, Trematoda, dan Cestoidea. Yang dibicarakan dari kelas trematoda
dan cestoidea.
2.2.1.
Kelas Trematoda
Hanya bersifat parasit; stadium
definitif ditutupi dengan integument tidak bersilia; epitel bersilia terbatas
pada larva yang menetas dari telur biasanya memiliki batil isap; biasanya
ditemukan saluran pencernaan makanan kecuali generasi sporokista Digenea.
Subkelas Digenea. Hampir semua spesies bersifat
endoparasit; alat untuk melekat terdiri atas satu atau lebih batil isap, salah
satunya sirkumoral; porus eksretorius terbuka ke posterior (tunggal pada
stadium definitif, ganda pada stadium larva); perkembangannya kompleks, dengan
perubahan tiga atau lebih generasi, satu diantaranya pada tuan rumah yang
melahirkan stadium peralihan pada moluska; telur menetas, keluar larva yang
memiliki silia.
2.2.2.
Ordo
Prostomata
Mulut pada / dekat ujung anterior badan,
dikelilingi sebuah batil isap. Ordo ini merupakan parasit bagi manusia.
Subordo Strigeata. Stadium definitif
(dewasa) monecious / diecious, hidup dalam saluran pencernaan makanan atau
darah vertebrata; selalu didapat batil isap anterior; biasanya ditemukan satu
atau lebih acetabula ventral; cercaria dengan ekor bercabang dua; pada
mirasidium terdapat dua pasang “flam cells”.
Superfamili Schistosomatoidea (Stiles dan Hassall, 1926).
Stadium definitif monecious atau diecious, hidup dalam darah portal dari
vertebrata; tidak memiliki otot pharyng; dengan /tanpa asetabulum ventral;
telur tidak beroperkulum cercaria apharyngeal, batil isap anterior posisinya
preoral;tidak ditemukan stadium metacercaria; cercaria memasuki tubuh tuan
rumah definitif dengan menembus kulit.
2.2.3.
Famili Schistosomatidae
Spesies Schistosoma japonicium, S. mansoni, S. Haematobium dan S. mekongi.
Subordo Paramphistomata. Hermafrodit,
ventral sucker berkembang dengan baik, posteroterminal atau subterminal di
samping organ reproduksi.
Superfamili Paramphistomatoidea. Stiles
dan Goldberger, 1910. Acetabulum caudoterminal atau subterminal; ditemukan oral
sucker dan eosofagus; porus genitalis di daerah pre-equatorial testes satu atau
dua buah umumnya preovarial; vitellaria dilateral; telur beroperkulum; sepasang
“flam cell” pada mirasidium.
·
Famili Paramphistomatidae.
·
Spesies Watsonius watsoni.
·
Famili Gastrodiscidae.
·
Spesies Gasdiscoides hominis
2.2.4.
Distomata.
Pemberian nama Distomata dipergunakan
untuk memberikan gambaran secara diskritif, tidak sebagai taksonomi.
Hermafrodit; ditemukan oral sucker dan
ventral sucker; organ reproduksi seluruhnya atau sebagian besar di sebelah
posterior dari ventral sucker.
Sepasang “Flame Cell” ditemukan pada
mirasidium; beribu spesies dalam kelompok ini yang bertindak sebagai parasit
pada hospes vertebrata; pada manusia terdiri atas tiga superfamili sebagai
berikut.
1. Superfamili
Echinostamatoidea (Faust, 1929).
Trematoda
dengan ukuran sedang; hidup dalam intestinum, sebagian kecil pada saluran
empedu vertebrata; ventral sucker
berkembang baik, berdekatan dengan oral sucker; telur besar beroperkulum, belum
matang ketika keluar dari parasit; khas (pada famili Echinostomatidae) dengan
collar (seperti kerah baju) dari duri cervikal; mirasidium, memiliki dua bintik
mata yang terletak di tangah-tengah; berkembang menjadi redia; berkembang
cercaria setelah redia dua dengan ekor sederhana atau bergalur; menetas dalam
jaringan molusca, beberapa invertebrate lain,vertebrata atau tanaman.
·
Famili Echinostomaatidae.
·
Spesies Echinostoma ilocanum, E. Lindoense.
·
Famili Fasciolidae.
·
Spesies Fasciola hepatica, F. gigantic, Fasciolopsis buski
2. Superfamili
Plagiorchioidea (Dolfus, 1930).
Trematoda
dengan ukuran sedang dan kecil; pipih atau silindris; hidup di dalam saluran
biler, saluran pankreas, intestine atau paru-paru vertebrata. Mengeluarkan
telur kecil / sedang, operculum tebal, mengandug mirasidium sempurna ketika di
keluarkan dari tubuh cacing. Miracidia
membentuk sporo kista; cercaria (memiliki / tidak styllet) dihasilkan dalam
sporokista generasi II atau redia, membentuk kista di dalam crustace, insek,
moluska atau hospes perantara lain atau dalam tumbuhan, untuk kemudian
ditularkan ke dalam tuan rumah definitif.
·
Famili Dicrocoliidae.
·
Spesies Dicrocoelium dendriticum.
·
Famili Troglotrematidae.
·
Spesies Paragonimus westermani
Gambar
7. Cacing Paragonimus westermani dewasa
3. Superfamili
Opisthorchioidea (Vogel,1934 Faust, 1949).
Cacing
berukuran kecil / sedang; seringkali spinose, perkembangan muskulatur tidak
sempurna, dengan atau tapa bintik mata pada stadium dewasa. Tidak memiliki
kantung cirrus, testis di belakang ovarium, tidak memiliki reseptakulum
seminalis, metraterm dan duktus ejakolatoris bersatu membentuk duktus genitalis
komunis. Telur kecil, dinding tebal, memiliki operkulum, mengandung mirasidium
yang berkembang sempurna ketika keluar dari cacing, akan tetapi baru menetas
jika di telan tuan rumah yang sesuai. Cercaria berkembang dari redia sederhana,
berbintik mata, acetabulum rudimeter, tanpa stylet tetapi memiliki dua atau
tiga baris pendek, duri pengait di atas mulut. Cercaria ensitasi dalam ikan;
dewasa pada saluran pencernaan makanan atau traktus bilaris mamalia, burung,
reptil atau ikan.
·
Famili Opisthorchiidae.
·
Spesies Opisthorchis felineus, O.
viverini, Clonorchis sinensis.
·
Famili Heteophydae.
·
Spesies Heterophyes heterophyes, metagonimus yokogawi
2.3. Siklus
Hidup Trematoda
Telur yang
keluar dari tubuh cacing mungkin telah matang terdapat pada Schistosoma,Chlonorchis, Metagonimus dan Opisthorchis.Pada
Schistosoma telur langsung menetas di
air,sedangkan pada Chlonorchis dan Metagonimus, baru akan menetas jika masuk
kedalam tubuh keong air.Keadaan telur lainya yang perlu pematangan terlebih dulu
di air, misalnya Fasciola, Fasciolopsis
dan Paragonimus.
Gambar 6. Siklus hidup Trematoda
Keluarnya telur dari hospes definitive
dapat bersama tinja misalnya Fasciolopsis,
Fasciola, Clonorchis, Heterophyes, Schistosoma mansoni, S. japonicum atau
bersama urin misalnya S. haematobium atau dapat juga bersama sputum misalnya Paragonimus westermani. Telur
yang menetas di air, mengeluarkan larva stadium I yang disebut miracidium.
Larva ini permukaan tubuhnya ditumbuhi silia yang berguna untuk berenang mencari
hospes perantara I (keong air tawar). Larva ini harus sudah berada didalam
tubuh hospes perantara I dalam 24 jam, jika belum mendapatkannya, larva akan
mati. Di dalam tuan rumah perantara I, larva segera melepaskan silianya dan
berubah menjadi semacam kantung memanjang yang disebut sporokista, kemudian
akan berumah menjadi redia. Redia memperbanyak diri dan berubah menjadi larva
stadium IV yang berekor dan disebut cercaria.Cercaria berenang meninggalkan
hospes perantara I menuju hospes perantaraII dari jenis keong air tawar
lain,ikan,udang,kepiting atau tumbuhan air tergantung spesies cacing.Didalam
tubuh hospes perantara II cercaria akan berubah menjadi metacercaria,berupa
kista dengan dinding cukup kuat.Manusia terinfeksi jika memakan hospes
perantara II yang mengandung metacercaria.Pada Schistosoma, cercaria tidak menjadi metacercaria,tetapi akan
menembus kulit hospes definitive.
Perkembangan dalam tuan rumah perantara
pertama banyak varisainya, secara singkat dapat diuraikan perkembangannya yaitu
:
1. Telur
telah matang ketika keluar dari hospes, menetas saat kontak dengan air,keluar
miracidium mencari keong air, berubah menjadi sporokista generasi I, kemudian
menjadi sporokista generasi II, akhirnya menjadi cercaria, terjadi pada genus Schistosoma .
2. Telur
belum matang, perlu pematangan di air menetas keluar miracidium, di dalam tuan
rumah perantara I berturut-turut menjadi sporokista, redia akhirnya menjadi
cercaria, terjadi pada genus Paragonimus.
Untuk genus Fasciola dan fasciolopsis, terjadi dua generasi
redia.
3. Telur
belum matang, pematangan di air, menetas, keluar miracidium, di dalam keong air
menjadi redia generasi I, generasi II, akhirnya menjadi cercaria, terjadi pada
genus Echinostoma.
4. Telur
telah matang ketika keluar dari hospes, baru menetas jika ditelan oleh keong
air yang sesuai. Kemudian berubah menjadi sporokista generasi I, redia dan
akhirnya cercaria, terjadi pada genus Clonorchis
dan Metagonimus.
Stadium cercaria
(berekor) adalah stadium ketika parasit tidak makan sehingga jika tidak
mendapatkan hospes akan mati. Manusia terinfeksi dengan cara metacercaria
termakan bersama tubuhan air pada Fasciola
hepatica, Fasciolopsis buski, Watsonius watsoni, bersama ikan pada Clonorchis sinensis, Heterophyes
heterophyes, Metagonimus yokogawai atau bersama udang pada Paragonimus westermani. Pada genus Schistosoma, manusia terinfeksi dengan
cara cercaria menembus kulit.
Menurut habitatnya, Trematoda di bagi ke
dalam 4 kelompok yaitu :
1. Trematoda
usus terdiri atas Fascilopsis buski,
Metagonimus yokogawai, Echinostoma ilocanum, Watsonius watsoni, Heterophyes
heterophyes, Gastrodiscoides hominis.
2. Trematoda
hati terdiri atas Fasciola hepatica,
Opisthoschis felineus, Dicrocoelium dendriticum, Opisthorchis viverini,
Clonorchis sinensis.
3. Trematoda
paru-paru yaitu Paragoniumus westermani
4. Trematoda
darah yang terdiri atas Schistosoma
haematobium, S. mansoni, S. japonicum dan S. mekongi.
Pada umumnya epidemiologi trematoda
terdapat pada daerah tropik dan oriental, kecuali untuk genus Opisthorchis ditemukan antara lain di
Jerman, daerah Rusia semenanjung Balkan. Ada beberapa keadaan yang dapat
membantu penyebaran trematoda, yaitu penggunaan air sungai untuk mencuci, mandi
dan keperluan lainnya, atau memakan keong air, tumbuhan air, ikan, ketam air
tawar mentah atau kurang matang, pembuangan tinja, urin atau sputum sembarangan
serta hospes reservoir yang dapat membantu penyebaran trematoda.
2.4. Gejala Klinis
Pada
umumnya infeksi oleh trematoda tidak menimbulkan gejala yang berarti. Adapun
gejala klinis ini tergantung pada beberapa hal yaitu ukuran, jumlah dan stadium
cacing, organ atau jaringan yang terinfeksi, keadaan umum hospes.
Perubahan
yang dapat terjadi pada tuan rumah defitinif berupa kelainan lokal atau
sistemik, tapi kebanyakan terjadi kedua-duanya. Terdapat tiga tahapan penyakit
oleh trematoda, yaitu stadium prepaten atau masa inkubasi biologis, yaitu waktu
sejak masuknya stadium infektif pada hospes sampai dapat menghasilkan telur
atau sampai timbulknya gejala klinis. Selsnjutnya stadium akut, tahapan ke tiga
yaitu stadium kronis.
2.5. Pencegahan
Pencegahan penyakit oleh trematoda dapat
di lakukan beberapa hal yaitu pengobatan penderita sebagai sumber infeksi,
desinfeksi dan sanitasi pembungan tinja, urine atau sputum, kampanye
antimolusca (pemberantasan keong air tawar). Serta pendidikan terutama
menyangkut mandi serta makan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Cacing daun
adalah cacing yang termasuk kelas trematoda
filum platyhelminthes dan hidup sebagai parasit pada umumnya hermatodit. Spesies ini merupakan parasit
yang terdapat dalam tubuh manusia,
termasuk subkelas digenea yang hidup
sebagai endoparasit.
Pada umumnya Trematoda atau cacing
daun merupakan parasit dengan sifat
hermafrodit yang memiliki siklus hidup yang kompleks. Mulai dari telur,
mirasidium. Serkaria. Redia, kemudian menjadi cacing dewasa muda dan akhirnya
menjadi cacing dewasa.berdasarkan tempat hidupnyapun jenis cacing ini lebih
bervariasi. Ada trematoda yang hidup di hati, Paru, usus bahkan dalam darah.
Proses penyebarannyapun sangatlah mudah dan sangat sederhana.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Natadisastra D. Parasitologi Kedokteran
: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Natadisastra D, Agoes
Ridad, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2009. 105p.
2.
Buku
Ajar Parasitologi Kedokteran edisi ke empat. Badan Penerbit
FKUI. Jakarta: 2001. Editor: Inge Sutanto, Is suhariah Ismid, Puji K
Sjarifuddin, Saleha sungkar
3.
Sandjaja Bernardus. Parasitologi
Kedokteran Buku II Helmintologi Kedokteran. Herri Pedo, editor. Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2007. 286-287p.
4.
Prianto Juni, Darwanto, Tjahaya. Atlas
Parasitologi Kedokteran. Hadidjaja
Pinardi, Gandahusada S, editor. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1995. 49p
5. Safar
Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran Edisi Khusus. Bandung : Yrama Widya,
halaman 180-182
Terima Kasih... makalah anda sangat membantu dalam pembuatan laporan lab saya :)
BalasHapus