Jumat, 11 Oktober 2013

CESTODA



MAKALAH PARASITOLOGI
C E S T O D A
(CACING PITA)





OLEH :

NAMA : ODI P SEMBOARI
                               NIM      : 0090840007









FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA - PAPUA
2013


KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, atas kebaikanNya kami dapat menyelesaikan
Makalah ini dengan baik dan tepat waktu seperti yang diharapkan.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Janno
Bernadus, MBiomed yang telah memberikan tanggung jawab kepada kami untuk
menyelesaikan makalah ini sebagai bentuk pemenuhan tugas Mata kuliah Parasitologi
Kedokteran yang diberikan. Makalah yang berjudul “Cestoda” ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari dokter dan
dari pembaca agar kami dapat lebih maju terutama dalam mata kuliah Parasitologi
Kedokteran. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.



























Jayapura, 29 Juli  2013




Penyusun






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang............................................................................ ............1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
1.4. Sistematika Penulisan.............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... .3
2.1. Ordo pseudophyllidea.............................................................................. 4
2.2. Ordo cyclophyllidea................................................................................. 9
2.3. Cacing Pita Yang Kurang Penting Di Indonesia................................... 22
BAB III PENUTUP......................................................................................32
3.1. Kesimpulan............................................................................................ 32
3.2. Saran...................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 33

































BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang

Cestoda merupakan cacing berbentuk pipih seperti pita dan di sebut cacing
pita. Cacing ini tubuhnya berwarna putih dan tertutup kutikula. di bawah kutikula
terdapat otot sirkuler, longitudinal, dan transversal. Tidak memiliki rongga tubuh.
Cacing pita termasuk subkelas cestoda kelas cestoidea, filum
platyhelminthes. Cacing dewasanya, menempati saluran usus vertebrata dan
larvanya hidup di jaringan vertebrata dan invertebrata. Bentuk badan cacing
dewasa memanjang menyerupai pita, biasanya pipih dorsovenral, tidak
mempunyai alat cerna atau saluran vaskular dan biasanya terbagi dalam segmensegmen
yang disebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduksi jantan dan
betina. Ujung bagian antarior berubah menjadi sebuah alat perekat disebut skoleks,
yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait.

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah: bagaimana klasifikasi dari
cestoda berdasarkan ordo? Morfologi cestoda? Daur hidup Cestoda? Dll.

1.2.  Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah maka, tujuan dari penulisan makalah ini
adalah unutk mengetahui tentang Cestoda secara Umum, Pengklasifikasian cestoda
berdasarkan ordo, daur hidup dari ordo Pseudophylidea dan ordo Cyclophillidea,
patologi dan gejala klinis yang ditimbulkan oleh cestoda pada tubuh hospes dalam
bentuk Diphyllobothrium latum, Taenia saginata, Taenia soleum, Hymenolepis
nana, Hymenolepis diminuta, Echinococcus granulolus, Echinococcus
multilocularis dan Multiceps ssp, diagnosis penyakit yang disebabkan oleh
cestoda, pengobatan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cestoda, serta cacing
pita yang kurang penting di Indonesia.

1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari makalah terdiri dari 3 Bab, yaitu: Bab I atau
pendahuluan Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan
serta sestematika penulisan, Bab II atau pembahasan yang meliputi tiga
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita) Kelompok II 2
pembahasan yaitu: Ordo Pseudophyllidea, Ordo Cyclophyllidea dan serta cacing
pita yang kurang penting di Indonesia, Bab III Penutup yang berisikan Kesimpulan
dan Saran, serta Daftar Pustaka.
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)










BAB II
PEMBAHASAN

Cestoda atau lebih dikenal sebagai cacing pita merupakan kelas dari Cestoidea, filum
Platyhelmintes. Bentuknya pipih seperti pita sehingga disebut cacing pita. Tubuhnya
berwarna putih dan tertutup kutikula. Di bawah kutikula terdapat lapisan-lapisan otot sirkuler,
longitudinal, dan transversal, serta cacing ini tidak memiliki rongga tubuh. Cacing dewasanya
menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata dan invertebrata.
Cacing ini tidak mempunyai alat cerna atau saluran vaskular dan biasanya terbagi dalam
segmen-segmen yang disebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduksi jantan dan
betina.
Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat pelekat yang disebut skoleks, yang
dilengkapi oleh alat isap dan kait-kait atau (rostelum), keduanya menempel pada tuan
rumahnya. Spesies cestoda yang dapat menimbulkan kelainan pada manusia dan manusia
sebagai hospesnya.
Manusia merupakan Hospes dari cestoda dalam bentuk:
Dewasa:
Text Box:  - Diphyllobothrium latum
- Taenia saginata
- Taenia solium
Text Box: Kurang Penting di Indonesia- Hymenolepis nana
- Hymenolepis diminuta
- Diphyllidium caninum
Larva :
- Diphyllobothrium spp.
- Taenia solium
- Echinococcus granulosus
- Echinococcus multilocularis
- Multiceps spp.
Sifat-sifat umum Cestoda
Badan cacing cestoda dewasa terdiri dari:
1. Skoleks, yaitu kepala yang merupakan alat untuk melekat, dilengkapi dengan batil
isap atau dengan lekuk isap.
2. Leher, yaitu tempat pertumbuhan badan.
3. Strobilia, badan dengan segmen-segmen proglotid. Tiap proglotid dewasa mempunyai
susunan alat kelamin jantan dan betina yg lengkap yang disebut hermafroid.
Penting di Indonesia
Kurang Penting di Indonesia
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita) Kelompok II 4
Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus. Embrio didalam
telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh menjadi bentuk infektif dalam
hospes perantara.
Infeksi di kenal dengan menelan larva bentuk dengan infektif atau menelan telur. Pada
Cestoda dikenal dua Ordo :
1. Ordo Pseudophiyllidea
2. Ordo Cyclophllidea.
2.1. Ordo Pseudophiyllidea.
Ordo Pseudophiyllidea mempunyai skoleks dengan dua lekuk isap (bothirium
=suctorial groove) lubang genital dan lubang uterus terletak di tengah-tengah
proglotid, telur mempunyai operkulum, berisi sel telur dan di keluarkan bersama tinja
dalam air, sel telur tumbuh menjadi onkosfer telur menetas dan di keluarakanlah
korasidium, yaitu embrio yang mempunyai banyak silia. korasidium dimakan oleh
hospes perantara I yang tergolong (cyclops, diaptomus) dan tumbuh menjadi
proserkoid.
Cyclops yang mengandung parasit dimakan oleh hospes perantara II (ikan, kodok)
dalam hospes perantara II larva tumbuh menjadi pleroserkoid (Sparganum) yang
merupakan bentuk infektif cacing yang termasuk pseudophyllidae adalah cacing
diphyllobothirium latum dan diphyllobothirium mansoni (Diphyllabothium Binatang).
2.1.1. Diphyllobothrium latum
(Taenia Lata, Dibothriocephalus Latus, Broad Tapeworm, Fish Tapeworm)
2.1.1.1. Hospes dan Nama Penyakit.
Manusia adalah hospes definitif dari cacing cestoda, hospes
reservoarnya adalah anjing, kucing, dan lebih jarang 22 mamalia
lainnya antara lain walrus, singa laut, beruang, babi, dan serigala.
Parasit ini menyebabkan penyakit yang disebut difilobotriasis.
2.1.1.2. Epidemiologi
Penyakit ini di indonesia tidak ditemukan tetapi banyak
dijumpai di negara yang banyak makan ikan salem mentah atau
kurang matang. Banyak binatang seperti anjing, kucing dan babi
berperan sebagai hospes reservoar dean perlu diperhatikan. Untuk
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita) Kelompok II 5
mencegah terjadinya infeksi, ikan air tawar yang tersangka
mengandung bibit penyakit harus terlebih dahulu dimasak dengan
sempurna sebelum dihidangkan. Anjing seperti hospes reservoar
sebaiknya diberi obat cacing.
2.1.1.3. Morfologi Dan Daur Hidup
Cacing dewasa yang keluar dari usus manusia berwarna
gading, panjangnya dapat sampai 10 m terdiri atas 3000-4000 bua
progloid,tiap proglotid mempunyai alat kelamin jatan dan betina
yang lengkap.telur mempunyai operkulum berukuran 70x45 mikron,
di keluarakan melalui lubang uterus proglotid gravid dan di temukan
dalam tinja. Telur menetas dalam air. larva di sebut koradisium dan
dimakan oleh hospes perantara I, yaitu binatang yang termasuk
copepoda seperti cyclops dan diaptomus. Dalam hospes ini larva
tumbuh menjadi proserkoid, kemudian cyclops dimakan hospes
perantara ke II yaitu ikan salem dan proserkoid berubah menjadi
larva pleroserkoid atau di sebut sparganum. Bila ikan tersebut di
makan hospes definitif, misalnya manusia, sedangkan ikan itu tidak
di masak dengan baik, maka spraganum di rongga usus halus tumbuh
menjadi cacing dewasa. (lihat gambar 1)


Daur hidup Diphyllobothrium latum
(Buku Ajar Parasitologi Kedokteran edisi ke empat. Badan Penerbit FKUI. Jakarta: 2001. Editor: Inge Sutanto, Is
suhariah Ismid, Puji K Sjarifuddin, Saleha sungkar, halaman 76)
































Text Box: Cacing Dewasa Usus Halus Manusia

 



Cacing Dewasa Usus
Halus Manusia
Korasidium Menembus
Alat Cerna Kopepoda,
Masuk ke Rongga Dada
Kopepoda Yang Infektif
Dimakan Ikan Air Tawar
Proserkoid Berkemba
Text Box: Skoleks Dari Pleroserkoid Melekat pada Mukosa Usus,Berkermbang Menjadi Cacing Dewasang
Text Box: Kopepoda
( Cyclops Diaptomus )
Memakan Korasidium
Menjadi Pleroserkoid Dalam
Otot Ikan
Termakan Oleh Manusia
Melalui Ikan Air Tawar
Mentah Atau Yang
Dimasak Kurang Baik
Skoleks Dari Pleroserkoid
Melekat Pada Mukosa
Usus, Berkembang
Text Box: Korasidium Menembus Alat Cerna Kopepoda Masuk Ke Rongga DadaText Box: Ternakan Oleh Manusia Melalui Ikan Air Tawar Mentah Atau Yang Di Masak Kurang Baiki.Menjadi Cacing Dewasa
Kopepoda
(Cyclops Diaptomus)
Memakan Korasidium
Telur Yang Belum
Berkembang Keluar
Bersama Tinja Masuk
Text Box: Proserkoid Berkembang Di Rongga Dada KopepodaDalam Air Tawar
Korasidium, Larva
Bersilia Menetas
Dari Perut, Berenang
Bebas Dalam Air
Proserkoid Berkembang
Di Rongga Dada


 







Bagan 1. Daur Hidup Diphyllobothrium Latum
2.1.1.4. Distribusi Biografik
Parasit ini ditemukan di Amerika, Kanada, Eropa, daerah danau
di Swiss, Rumania, Turkestan, Israel, Mancuria, Jepang, Afrika,
Malagasi, dan Siberia.
2.1.1.5. Patologi Dan Gejala Klinis
Penyakit ini biasanya tidak menimbulkan gejala berat, mungkin
hanya gejala saluran cerna seperti diare, tidak nafsu makan dan tidak
enak di perut. Bila cacing hidup dipermukaan usus halus, dapat
timbul anemia hiperkrommakositer,karena cacing itu banyakopepoda
menyerap vitamin B12, sehingga timbul gejala defisiensi vitamin
tersebut. Bila jumlah cacing banyak, mungkin terjadi sumbatan usus
secara mekanik atau terjadi obstruksi usus, karena cacing-cacing itu
menjadi seperti benang kusut.

2.1.1.6. Diagnosis
Cara menegagkkan diagnosis penyakit ini adalah dengan
menemukan telur atau proglotid yang dikeluarkan dalam tinja.

2.1.1.7. Pengobatan
Penderita diberikan obat Atabrin dalam keadaan perut kosong,
disertai pemberian Na-bikarbonas, dosis 0,5 g 2 jam setelah makan
obat diberikan sebagai pencahar megnesium sulfat 15 g.
Obat pilihan adalah niclosmid (Yomesan), diberikan 4 tablet (2
g), dikunyah sekaligus setelah makan hidangan ringan. Obat lain
yang juga efektif adalah paromomisin, yang diberikan dengan dosis
1 g setiap 4 jam sebanyak 4 dosis. Selain itu, dapat dipakai
prazikuanteldosis tunggal 10 mg/kg berat badan.

2.1.2. Sparganosis
Tahun 1882 Manson mendapatkan sparganosis jaringan dari penduduk
asli yang diautopsidi Amoy-RRC.
Larva pleroserkoid dari beberapa spesies cacing pita golongan
Diphyllobothrium telah ditemukan pada manusia dan diketahui sebagai
sparganum dan penyakitnya disebut sparganosis. Diphyllobothrium binatang
misalnya Diphyllobothrium mansoni memerlukan anjing, kucing dan binatang
lainnya sebagai hospes definitif.Manusia dapat bertindak sebagai hospes kedua
bila mengandung sparganum (pleroserkoid).

2.1.2.1. Epidemiologi
Parasit ini ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara, Jepang,
Indo Cina, Afrika, Eropa, Australia, Amerika Utara-Selatan dan
Indonesia.
Manusia menderita sparganosis karena:
1. Minum air yang mengandung Cyclops yang infektif

2. Makan kodok, ular atau binatang pengerat yang mengandung
pleroserkoid
3. Menggunakan daging kodok yang infektif untuk obat. Didaerah
endemi, air minum perlu dimasak dan disaring dan daging hospes
perantara dimasak dengan sempurna.

2.1.2.2. Daur Hidup
Dalam tubuh manusia sparganum dapat mengembara di otot da
fasia, akan tetapi larva ini tidak akan menjadi dewasa. Daur hidupnya
sama seperti Diphyllobothrium latum. Dalam hospes perantara pertama
kedua yaitu hewan pengerat kecil, ular dan kodok, ditemuka
pleroserkoid atau sparganum.
2.1.2.3. Patologi dan gejala klinis
Pada manusia, larva ditemukan diseluruh bagian tubuh,
terutama di mata, kulit, jaringan otot, toraks, perut, paha, daerah
inguinaldan dada bagian dalam. Sparagnum dapat menyebar keseluruh
jaringan. Perentangan dan pengerutan larva menyebabkan peradangan
dan edema jaringan sekitarnya yang nyeri. Larva yang rusak
menyebabkan peradangan lokal yang dapat menjadi nekrosis.
Penderita dapat menunjukan sakit lokal, urtikaria raksasa yang
timbul secara periodik, edema dan kemerahan yang disertai dengan
menggigil, demam dan hipereosinofilia. Infeksi pada bola mata yang
relatif sering terjadi di Asia Tenggara, menyebabkan konjugtivitis
disertai bengkak dengan lakrimasi dan ptosis.

2.1.2.4. Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan larva ditempat kelainan.
Untuk identifikasi diperlukan binatang percobaan.

2.1.2.5. Pengobatan dan Prognosis
Untuk pengobatan dilakukan pembedahan dan pengangkutan
larva. Sedangkan prognosis tergantung pada lokasi parasit dan
pembedahan yang berhasil.

2.2. Ordo Cyclophyllidea
Cyclophyllidea mempunyai skoleks (kepala) dengan 4 batil isap dan
dilengakapi rostelum dengan atau tanpa kait-kait, lubang kelamin terdapat di pinggir
proglotid, dapat unilateral atau bilateral selang-seling. rostelum adalah penonjolan di
skoleks. Lubang uterus (uterine pore) tidak ada. Proglotid gravid merupakan kantung
telur yang keluar bersama tinja. Telur yang berisi onkosfer tumbuh dalam hospes
perantara dan menjadi bentuk infektif. Ordo cyclophyllidea termasuk kelas cestoidea.
Cacing tersebut dikenal dengan nama umum cacing pita.

2.2.1. Taenia Saginata
2.2.1.1. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif cacing pita Taenia saginata adalah manusia,
sedangkan hewan memamah biak dari keluarga Bovidae, seperti sapi,
kerbau dan lainnya adalah hospes perantaranya. Nama penyakitnya
teniasis saginata.

2.2.1.2. Epidemiologi
Taenia saginata sering ditemukan dinegara yang penduduknya
banyak makan daging sapi atau kerbau. Cara penduduk memakan
danging tersebut yaitu matang (well done), setengah matang (medium),
atau mentah (rare); dan cara memelihara ternak memainkan peranan.
Ternak yang dilepas dipadang rumput lebih mudah dihinggapi cacing
gelembung, dari pada ternak yang dipelihara dan dirawat dengan baik
dikandang. Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan
mendinginkan daging sapi 10˚C, iradiasi dan memasak daging sapi
matang.
2.2.1.3. Morfologi dan daur hidup
Taenia saginata adalah salah satu cacing pita yang berukuran
besar dan panjang, terdiri atas kepala yang disebut skoleks, leher dan
strobila yang merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-
2000 buah. Panjang cacing 4-12 meter atau lebih. Skoleks hanya
berukuran 1-2 milimeter, mempunyai empat batil isap dengan otot-otot
yang kuat, tanpa kait-kait. Bentuk leher sempit, ruas-ruasnya tidak jelas
dan di dalamnya tidak terlihat struktur tertentu. Strobila terdiri atas
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
rangkaian proglotid yang belum dewasa ( imatur ) yang dewasa (
matur) dan yang mengadung telur atau disebut gravid. Pada proglotid
yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin yang jelas.
Pada proglotid yang dewasa terlihat struktur alat kelamin seperti folikel
testis yang berjumlah 300-400 buah, tersebar dibidang dorsal. Vasa
eferensnya, bergabung untuk masuk ke rongga kelamin (genital
atrium ), yang berakhir di lubang kelamin ( genitalia pore ). Lubang
kelamin letaknya selang seling pada sisi kanan atau kiri strobila. Di
bagian posterior lubang kelamin, dekat vas deferens, terdapat tabung
vagina yang berpangkal pada ootip.
Ovarium terdiri atas 2 lobus, berbentuk kipas dan besarnya
hampir sama. Letak ovarium di sepertiga bagian posterior proglotid.
Vitelaria letaknya di belakang ovarium dan merupakan kumpulan
folikel yang eliptik.
Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan menjulur ke
bagian anterior proglotid. Setela uterus ini penuh dangan telur, maka
cabang-cabang akan tumbuh, yang berjumlah 15-30 buah pada satu
sisinya dan tidak memiliki lubang uterus ( porus uterinus ). Proglotid
yang sudah gravid letaknya terminal dan sering terlepas dari stoboila.
Proglotid ini dapat begerak aktif, keluar dengan tinja atau keluar sendiri
dari lubang dubur ( spontan ). Setiap harinya kira-kira 9 buah proglotid
dilepas. Proglotid bentuknya lebih panjang dari pada leher. Telur
dibungkus embriofor, yang bergaris – garis radial, berukuran 30 – 40 x
20 – 30 mikron, berisi embrio heksakan atau onkosfer. Telur yang baru
keluar dari uterus masih diliputi oleh selaput tipis yang disebut lapisan
luar telur. Sebuah proglotid gravid berisi kira – kira 100.000 buah
telur.Waktu proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak,
cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari
sisi anterior proglotid tersebut, terutama bila proglotid berkontraksi
waktu gerak.
Telur melekat di rumput bersama tinja, bila orang berdefekasi di
padang rumput, atau karena tinja yang hanyut dari sungai pada waktu
banjir. Ternak yang makan rumput yang berkontaminasi dihinggapi
cacing gelembung, oleh karena telur yang tertelan dicerna dan embrio
heksakan menetas. Embrio heksakan di salurann pencernaan ternak
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
menembus dinding usus, masuk kesaluran getah bening atau darah dan
ikut dengan aliran darah ke jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh
menjadi cacing gelembung, disebut sistiserkus bovis, yaitu larva Taenia
saginata. Peristiwa ini terjadi setelah 12 – 15 minggu.
Bagian tubuh ternak yang sering dihinggapi larva tersebut
adalah otot master, paha belakang dan punggung. Otot dibagian lain
juga dapat dihinggapi setelah satu tahun cacing gelembung ini biasanya
mengalami degenerasi, walaupun ada yang dapat hidup sampai 3 tahun.
Bila cacing gelembung yang terdapat di daging sapi yang
dimasak kurang matang termakan oleh manusia, skoleksnya keluar dari
cacing gelembung dengan cara evaginasi dan melekat pada mukosa
usus halus, biasanya yeyenum cacing gelembung tersebut dalam waktu
8 – 10 minggu menjadi dewasa. Biasanya di rongga usus hospes
terdapat seekor cacing.
2.2.1.4 Distribusi Geografik
Penyebaran cacing adalah kosmopolit, didapatkan di Eropa,
Timur Tengah, Afrika, Asia, Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia, dan
juga Indonesia, yaitu Bali, Jakarta dan lain-lain.
2.2.1.5 Patologi dan gejala klinis
Cacing dewasa Teania saginata, biasanya melibatkan gejala
klinis yang dengan, seperti sakit hulu hati, perut merasa tidak enak,
mual, muntah, diare, pusing atau gugup. Gejala tersebut disertai dengan
ditemukannya problotid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur
bersama dengan atau tanpa tinja. Gejala yang lebih berat dapat terjadi,
yaitu apabila problotid masuk apendix, terjadi ileus yang disebabkan
obstruksi usus oleh strobila cacing. Berat badan tidak jelas menurun.
Eosinofilia dapat ditemukan didaerah tepi.
2.2.1.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan ditemukannya proglotid yang aktif
bergerak dalam tinja, atau keluar spontan; juga dengan ditemukannya
telur dalam tinja atau pusat anus. Proglotid kemudian didefinisikan
dengan meredamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. Setelah
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
uterus dengan cabang-cabangnya terlihat jelas, jumlah cabang-cabang
dapat dihitung.
2.2.1.7 Pengobatan
Obat yang dapat digunakan untuk mengobati teniasis saginata,
secara singkat dibagi dalam:
Obat lama : kuinarkin, amodiakuin, niklosamid.
Obat baru : prazikuentel dan albendazol.
2.2.1.8 Prognosis
Prognosis umumnya baik; kadang-kadang sulit untuk
menemukan skoleksnya dalam tinja setelah pengobatan.
2.2.2 Taenia Solium
2.2.2.1 Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif T. Solium adalah manusia, sedangkan hospes
perantaranya adalah babi. Manusia yang dihinggapi cacing dewasa
Taenia solium, juga menjadi hospes perantara cacing ini. Nama
penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa adalah teniasis solium
dan yang disebabkan stadium larva adalah sistiserkosis.
2.2.2.2 Epidemiologi
Walaupun cacingini kosmopolit, kebiasaan hidup penduduk
yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dan agama, memainkan peran
penting. Cara menyantap daging tersebut, yaitu matang, setengah
matang, atau mentah dan pengertian akan kebersihan atau higiene,
memainkan peranan penting dalam penularan cacing Taenia solium
maupun sistiserkus selulose. Pengobatan perorangan maupun
pengobatan masal harus dilaksanakan agar penderita tidak menjadi
sumber infeksi bagi diri sendiri maupun babi dan hewan lain seperti
anjing.
Cara-cara ternak babi harus diperbaiki, agar tidak ada kontak
dengan tinja manusia. Sebaiknya untuk ternak babi harus digunakan
kandang yang bersih dan makanan ternak yang sesuai. Pencegahan
dapat dilakukan seperti pada teniasis saginata.

2.2.2.3 Morfologi dan Daur Hidup
Taenia solium, berukuran panjang 2-4 meter dan kadangkadang
sampai 8 meter. Cacing ini seperti cacing Taenia saginata,
terdiri dari skoleks, leher dan strobila. Yang terdiri atas 800-1000 ruang
proglotid. Skoleks yang bulat berukuran kira-kira 1 milimeter,
mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang mempunyai 2 baris
kait-kait, masing-masing sebanyak 25-30 buah. Strobila terdiri atas
rangkaian proglotid yang belum dewasa (imatur), dewasa (matur) dan
mengandung telur (gravid). Gambaran alat kelamin pada proglotid
dewasa sama dengan Taenia saginata, kecuali jumlah folikel testisnya
lebih sedikit, yaitu 150-200 buah. Bentuk proglotid gravid mempunyai
ukuran panjang hampir sama dengan lebarnya. Jumlah cabang uterus
pada proglotid gravid adalah 7-12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin
letaknya bergantian selang-seling pada sisi kanan atau kiri strobila
secara tidak beraturan.
Proglotid gravid berisi 30.000-50.000 buah telur. Telurnya
keluar melalui celah robekan pada proglotid. Telur tersebut bila
termakan oleh hospes perantara yang sesuai, maka dindingnya dicerna
dan embrio heksakan keluar dari telur, menembus dinding usus dan
masuk ke saluran getah bening atau darah. Embrio heksakan kemudian
ikut aliran darah dan menyangkut di jaringan otot babi. Embrio
heksakan cacing gelembung (sistiserkus) babi, dapat dibedakan dari
cacing gelembung sapii, dengan adanya kait-kait di skoleks yang
tunggal. Cacing gelembung yang disebut sistiserkus selulose biasanya
ditemukan pada otot lidah, punggung dan pundak babi. Hospes
perantara lain kecuali babi, adalah monyet, unta, anjing, babi hutan,
domba, kucing, tikus, dan manusia. Larva tersebut berukuran 0,6-1,8
cm. Bila daging babi yang mengandung larva sistiserkus dimakan
setengah matang atau mentah oleh manusia, dinding kista dicerna,
skoleks mengalami evvaginasi untuk kemudian melekat pada dinding
usus halus seperti yeyunum. Dalam waktu 3 bulan cacing tersebut
menjadi dewasa dan melepaskan proglotid dengan telur.

2.2.2.4 Distribusi Geografik

Taenia solium adalah kosmopolit, akan tetapi jarang ditemukan
di negara Islam. Cacing tersebut banyak ditemukan di negara yang
mempunyai banyak pertenakan babi dan di tempat daging bagi banyak
disantap seperti di Eropa, (Czech, Slowakia, Kroatia, Serbia), Amerika
Latin, Cina, India, Amerika Utara dan juga di beberapa daerah di
Indonesia antara lain di Papua, Bali, dan Sumatera Utara.

2.2.2.5 Patologi dan Gejala klinis

Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak
menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat berupa nyeri
ulu hati, mencret, mual, obstipasi, dan sakit kepala. Darah tepi dapat
menunjukan eosinofilia.
Gejala klinis yang lebih berarti dan sering diderita, disebabkan
oleh larva yang disebut sistiserkosis. Infeksi ringan biasanya tidak
menunjukkan gejala, kecuali bila alat yang dihinggapi adalah alat tubuh
yang penting.
Pada manusia, sistiserkus atau larva Taenia solium sering
menghinggapi jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati,
paru, dan rongga perut. Walaupun sering dijumpai, klasifikasi
(perkapuran) pada sistiserkus tidak menimbulkan gejala, akan tetapi
sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis,
demam tinggi dan eosinofilia.
Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang
mengalami kalsifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan
dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningoensefalitis,
gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi sepert
nyeri kepala dan kadang-kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus internus
dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan cerbrospinal. Sebuah
sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV otak, dan dapat
menyebabkan kematian.
2.2.2.6 Diagnosis

Diagnosis teniasis solium dilakukan dengan menemukan telur
dan proglotid. Telur sukar dibedakan dengan telur Taenia saginata.
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dengan cara:
1. Ekstirpasi benjolan yang kemudian diperiksa secara
histopatologi.
2. Radiologis dengan CT scan atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
3. Deteksi antibodi dengan teknik ELISA, Western Blot
(EIBT), uji hemaglutinasi Counter Immuno
Electrophoresis (CIE).
4. Deteksi coproantigen pada tinja.
5. Deteksi DNA dengan teknik PCR.

2.2.2.7 Pengobatan

Untuk pengobatan penyakit teniasis solium digunakan
prazikuantel. Untuk sistiserkosis digunakan prazikuantel, albendazol
atau dilakukan pembedahan.




2.2.2.8 Prognosis
Prognosis untuk teniasis solium cukup baik, dapat disembuhkan
dengan pengobatan. Pada sistiserkosis, prognosis tergantung berat
ringannya infeksi dan alat tubuh yang dihinggapi. Bila yang dihinggapi
alat penting, prognosis kurang baik.
Daur hidup T.saginata & T.solium


2.2.3 Sistiserkosis

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kista stadium larva
cacing pita Taenia solium. Sistiserkosis dapat mengenai otot dan sistem saraf
pusar (SSP) sebagai neurosistiserkosis, atau berupa kista multipel atau keduanya.
Penyakit ini juga dinyatakan sebagai penyakit parasit yang paling banyak
menyerang sistem saraf pusat (SSP). Keberadaan siklus hidup parasit ini aru
dikenal pada abad ke-19 dan manifestasi klinisnya aru banyak teridentifikasi
pada pertengahan abad ke-20. Sejak dua puluh tahun terakhir ini berbagai
konsep mengenai prevalensi infeksi, morbiditas dan mortalitas, terapi dan
epidemiologi berkembang pesat. Hal tersebut juga termasuk kecurigaan terhadap
Asian Taenia sebagai penyebab Sistiserkosis.
Perhatian terhadap Sistiserkosis juga meningkat karena peningkatan
jumlah imigran dari negara berkembang, serta berkembangnya teknik diagnosik
yang dapat mendeteksi neurosistiserkosis. Perkembangan teknik diagnostik
tersebut antara lain pencitraan persarafan yang terkomputerisasi (CT dan MRI)
yang lebih sensitif dan non invasif.







2.2.3.1 Epidemiologi

Sebelum tahun 1990-an, data epidemiologi tentang prevalensi
neurosistiserkosis yang memadai masih terbatas. Hal itu disebabkan masih
terbatasnya metode diagnosis termasuk kualitas spesifisitas dan keakuratannya.
Tahun 1989, Tsang et al melaporkan penggunaan Enzyme-linked
immunotransfer blot (EITB)yang memanfaatkan glikoprotein parasit. EITB
adalah pemeriksaan spesifik pertama untuk infeksi Taenia solium yang dapat
digunakan untuk penelitian lapangan yang luas.
Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas, dengan wilayah
yang memiliki prevalensi tinggi, seperti: Meksiko, Amerika Tengah dan
Selatan, india dan Afrika sub Sahara. Di Meksiko, ditemukan bahwa pada
orang dewasa yang menderita kejang, setengahnya menderita
neurosistiserkosis. Keadaan serupa juga ditemukan di Afrika, India dan Cina
bahwa sebagian penyakit parasit otak disebabkan neurosistiserkosis. Di
Indonesia ada beberapa daerah seperti Bali dan Papua yang banyak
mengkonsumsi daging babi terjadi pertama kali kejadian luar biasa kejang
adalah di daerah Paniai, Papua, pada awal 1970-an dan kejang tersebut
disebabkan oleh neurosistiserkosis. Kejadian serupa dilaporkan terulang dekat
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
perbatasan Papua New Guinea, dan sampai sekarang Papua masih menjadi
daerah endemik Taeniasis/ Sistiserkosis.

2.2.3.2 Patogenesis dan Patofisiologi

Larva Taenia solium hidup dalam jaringan sebagai kista yang berisi
cairan atau metacestoda. Kista tersebut memiliki dinding semitransparan yang
tipis. Skoleks terletak disuatu sisi kista, terinvaginasi dan terlihat sebagai nodul
opak dengan diameter 4-5 mm. Ukuran dan bentuk kista bervariasi sesuai
jaringan disekitarnya. Di otak kista berbentuk bundar dan berdiameter 1 cm.
Dapat pula ditemukan kapsul degan ketebalan bervariasi yang terdiri atas
astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di SSP dan mata kurang tebal.
Dindingnya terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikulayang terdiri microtriches
(dilapisi oleh glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan muskularis, jaringan
penghubug longgar dan jaringan kanalikuli. Nodul mural terdiri atas skoleks
terinvaginasi dan kanal spiral terasosiasi yag juga terdiri atas membran
trilaminar. Sebuah pori kecil ekskretori kecil dekat akhir kanal spiral terhubung
dengan kanal digestif terhadap jaringan sekitar.
Sistiserkus hidup menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan
hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk
melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot babi
selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista telah
mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun pejamu. Hewan
yang telah terinfektif aktif atau telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium
kista kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi
dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respon antibodi
dibangun hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk metcestoda yang lebih
resisten.
Antibodi tidak dapat membunuh metacestoda matang. Kista hidup
sebenarnya juga menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk
produksi immunoglobulin yang kemudian diambiloleh kista, diperkirakan
sebagai sumber protein. Sebaliknya respon imun seluler ditekan. Taeniestatin
dan molekul parasit `yang lain berinterferasi dengan proliferasi limfosit dan
fungsi makrofag. Gejala neurosistiserkosis berhubungan dengan respon
granulomatosa yang tejadi ketika kista tidak lagi dapat memodulasi respon
pejamu.


2.2.3.3 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis sistiserkosis tegantung lokasi dan jumlah kista, serta
respon pejamu. Bila hanya tedapat sedikit lesi dan teletak dilokasi yang tidak
straregis misalnya otot, atau beberapa daerah di otak, infeksi tersebut dapat
terjadi tanpa gejala, namun tetap bisa menjadi salah satu alasan diagnosis
sistiserkosis. Pada kasus penyakit neurologis, tedapat periode tanpa gejala
sebelum gejala pertama timbul. Masa inkubasi ini diperkirakan berdasarkan
masa hidup kista jaringan. Hal ini di dukung penemuan Histopatologi kista
yang ditemukan pada manusia yang tanpa gejala sistiserkosis dan telah
meninggal akibat penyebab lain. Kebanyakan kista dari pasien dengan gejala,
berhubungan dengan respon peradangan termasuk didalamnya limfosit,
eosinofil, granulosit, dan sel plasma.oleh karenanya, gejala sistiserkosis
parenkimal timbul akibat peradangan ketika kista kehilangan kemampuan
memodulasi respon pejamu.
Manifestasi utama neurosistiserkosis adalah kejang. Gejala lain adalah
sakit kepala, peningkatan tekanan intrakranial (mual dan muntah), dan gangguan
status mental (termasuk psikosis). Hanya sedikit pasien yang menunjukan
kelumpuhan sraf kranial maupungejala fokal lainnya.
Bentuk manifestasi klinis.
1. Infeksi inaktif ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif
sebelumya (klasifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit
kepala, kejang dan psikosis.
2. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkimal aktif dan
ensefalitis sistiserkal.
3. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk
neurosistiserkosis ventrikular.
4. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalamika, penyakit
cerebrovaskular, sistiserkosis, sakit kepala, migren, defek
neurokognitif, sistiserkosis ekstraneural.

2.2.3.4 Diagnosis
Del Bruto et al, mengusulkan kriteria diagnosis yang dapat dilakukan
berdasrkan pencitraan, tes serologi, presentasi klinis, dan riwayat pajanan.
Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis. Computerzed
Tomography (CT) adalah metode terbaik untuk mendeteksi kalsifikasi yang
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
menunjukan infeksi inaktif. CT lebi unggul daripada MRI, sebaliknya MRI
lebih sensitif untuk menemukan kista diparenkim dan ekstraparenkim otak,
termasuk dalam mendeteksireaksi peradangan.
Tes serologi memiliki penggunaan luas dan juga sangat bervariasi.
Sayangnya kebanyakan tes menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang
menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal itu diperkirakan karena aviditas
kista dengan imunoglobulin yang menyebabkan positif palsu, selai itu high
cutoffs menyebabkan negatif palsu. Salah satu yang dikembangkan adalah
pemeriksaan infeksi Taenia solium. EITB sensitif pada kista parenkim aktif
multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun demikian
sensitivitasnya rendah pada paien dengan kista parenkimalatau kalsifikasi
sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi sering kali negatif.
Pemeiksaan EITB lebih baik ketika menggunakan serum dbanding liquor
serebrospinalis. Di daerah yang belum memiliki CT dan MRI, serologi
berperan penting untuk diagnosis.

2.2.3.5 Terapi

Terapi sistiserkosis berbeda pada setiap individu berdasarkan
patogenesis penyakitnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah lokasi kista,
gejala seperti kejang atau hidrosefalus, viabilitas kista dan derajat respon
peradangan pejamu. Untuk mencegah transmisi perlu dilakukan peningkatan
sanitasi lingkungan, memasak daging babi sampai matang, menekan jumlah
ekskresi telur taenia, edukasi terhadap masyarakat termasuk kebiasaan
mencucu tangan sebelum makan dan setelah ke kamar mandi, serta memasak
air minum hingga matang. Upaya yang juga dapat dilakukan adalah melakukan
pencegahan infeksi sistiserkosis pada babi dengan vaksinasi.
Pada infeksi inaktif, pasien dapat diterapi untuk mengatasi gejala
seperti kejang. Apabila terdapat hidrosefalus, maka dapat dibantu dengan
prosedur tambahan, misalnya dengan operasi pembuatan shunt
ventrikuloperitoneal. Pengobatan antiparasit tidak diperlukankarena tidak ada
parasit hidup pada pasien. Penderita neurosistiserkosis aktif, memerlukan
berbagai pengobatantambahan untuk mengobati kista hidup, gejala, dan reaksi
akibat pengobatannya sendiri. Obat yang dapat digunakan adalah praziquantel
(50-100 mg/kg dalam dosis terbagi) selama 14 hari, albendazol (15 mg/kg
dalam 2-3 dosis terbagi) selama 8 hari, kortikosteroid (10-30 mg deksametason
per hari, atau 60 mg prednison, dilanjutkan dengan tappering off saat ingin
menghentikan pemberian) dan juga obat antikonvlusan seperti fenitonin atau
fenobarbital. Pemberian kortikosteroid adalah untuk mengatasi reaksi
peradangan yang terutama terjadi setelahpengobatan praziquantel. Tujuannya
adalah mencegah peradangan yang dapat mengancam nyawa pada ensefalitis
sistiserkal, neurosistiserkosis subarakhnoid, dan neurosistiserkosis
intramedular spinal.prednison lebih baik dibandingkan deksametason untuk
penggunaan jangka panjang. Selain itu digunakan manitol (2 g/kg per hari)
untuk hipertensi sekunder akut akibat neurosistiserkosis.
Pemakaian praziquantel bersama anti fulsar dapat menyebabkan
induksi metabolisme. Oleh karena itu diperlukan simetidin ( 400mg
3xper4hari ) untuk mengahambat metabolisme praziquatel tersebut. Interaksi
obat ini relatif tidak terjadi pada penggunaan albendazol. Hal ini yang perlu
diperhatikan saat pengobatan adalah reaksi peradangan yang akan
menyebabkan, mual,muntah, dan sakit kepala, bahkan dapat menyebabkan
edema serebral. Selain itu, bila sistiserkorsis terdapat di otot, maka dapat
terjadi miositis akibat pengobatan.
Neurosistiserkosis parenkim.pengobatan yang dianjurkan adalah
albendazol (14 mg/kg/ hari oral , selama 7 hari atau lebih). Bertuuan untuk
menghancurkan seluruh kista dan meringankan kejang sampai 45 %. Diberikan
secara simultan dengan deksametason ( 0,1 mg/kg/ hari) minimal selama
minggu pertama terapi. Pilihan lain adalah praziquantel ( 25 mg / kg 3 kali
sehari, oral , dengan interval 2 jam atau dosis standar (50-100 mg / kg/ hari
selama 15 hari). Efikasi dosis tunggal lebih baik pada penderita dengan kista
tunggal atau kista sedikit,namun kurang bermanfaat bila jumlah kistanya
banyak.
Neurosistiserkosis Subarakhnoid. Dosis optimal dan durasi terapi anti
parasitik jenis ini belum ada. Penggunaan albendazol pada sistiserki raksasa
(15 mg/kg/ hari selama 4 minggu) menunjukan hasil yang baik. Meskipun
begitu, diperlukan beberapa kali pengulangan pengobatan ( satu kali siklus
tidak cukup). Dosis anti radang yang digunakan juga belum ditetapkan, dapat
digunakan prednison (60 mg/hari selama 10 hari) dan tappering off 5 mg/hari
setiap 5 hari.
Komplikasi serebrovaskular. Untuk komplikasi serebrovaskular, belum
ditetatpkan standar penatalaksanaan. Saat ini pengobatan diberikan bersama
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
kortikosteroid untuk mengurangi peradangan (deksametason 16-24 mg/hari
pada kondisi akut, dan prednison oral 1mg/kg/hari untuk jangka panjang).
Evaluasi dilakukan dengan pemeriksaan doppler transkranial untuk memantau
terapi kortikosteroid. Sementara itu, penggunaan obat neuroprotektif belum
jelas manfaatnya.
Pengobatan Taeniasis. Pengobatan yang adekuat terhadap cacing pita
penting untuk menghentikan tranmisi sistiserniklosamid dosis tunggal (2gram)
atau praziquantel (5mg/kg). Niklosamid merupakan obat pilihan karena tidak
diabsorbsi usus sehingga dapat menghindarkan dari risiko gejala neurologi bila
pasien juga menderita neurosistiserkosis. Terapi keduanya memiliki efektifitas
lebih lanjut. Indentifikasi kesembuhan adalah dengan ditemukannya skoleks
setelah pengobatan, karena skoleks yang tersisa dapat tumbuh kembali dalam
jangka waktu 2 bulan. Hal purgative osmotik sebelum dan sesudah
pengobatan.

2.3 Cacing Pita yang Kurang Penting di Indonesia
2.3.1 Hymenolepis Nana (dwarf tapeworm)

2.3.1.1 Hospes dan Nama Penyakit

Hospesnya adalah manusia dan tikus. Cacing ini menyebabkan
penyakit himenolepiasis.

2.3.1.2 Distribusi Geografik
Penyebarannya kosmopolit, lebih banyak didapat di daerah
dengan iklim panas daripada iklim dingin dan juga ditemukan di
Indonesia.







2.3.1.3 Morfologi dan Daur Hidup
Dari golongan Cestoda yang ditemukan pada manusia, cacing
ini mempunyai ukuran terkecil. Panjangnya 25-40 mm dan lebarnya 1
mm. Ukuran strobila biasanya berbanding terbalik dengan jumlah
cacing yang ada dalam hospes. Skoleks berbentuk bulat kecil,
mempunyai 4 buah batil isap dan rostelum yang pendek dan berkaitkait.
Bagian leher panjang dan halus. Strobila dimulai dengan proglotid
imatur yang sangat pendek dan sempit, lebih ke distal menjadi lebih
lebar dan luas. Pada ujung distal strobila membulat.
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
Telur keluar dari proglotid paling distal yang hancur.
Bentuknya lonjong, ukurannya 30-47 mikro, mempunyai lapisan yang
jernih dan lapisan dalam yang mengelilingi sebuah onkosfer dengan
penebalan pada kedua kutub. Dari masing-masing kutub keluar 4-8
filamen. Dalam onkosfer terdapat 3 pasang duri (kait) yang berbentuk
lanset. Untuk beberapa minggu. Proglotid gravid melepaskan diri dari
badan, telurnya dapat ditemukan dalam tinja. Cacing ini tidak
memerlukan hospes perantara. Bila telur tertelan kembali olehh
manusia atau tikus, maka di rongga usus halus telur menetas, larva
keluar dan masuk ke selaput lendir usus halus dan membentuk larva
sistiserkoid, kemudian keluar ke rongga usus dan menjadi dewasa
dalam waktu 2 minggu atau lebih. Pada infeksi percobaan, berbagai
pinjal dan kutu beras dapat menularkan murine strain.
Orang dewasa kurang rentan dibandingkan dengan anak.
Kadang telur dapat menetas di rongga usus halus sebelum dilepaskan
bersama tinja. Keadaan ini disebut autoinfeksi interna. Hal ini memberi
kemungkinan terjadi infeksi berat sekali yang disebut hiperinfeksi,
sehingga cacing dewasa dapat mencapai 2000 ekor pada seseorang
penderita.




























 




























Bagan 3. Daur Hidup Hymenolepis Nana


2.3.1.4 Distribusi Geografis

Penyebarannya kosmopolit, lebih banyak didapat di daerah
dengan iklim panas daripada iklim dingin dan juga ditemukan di
Indonesia.

2.3.1.5 Patologi dan Gejala Klinis

Hymenolepis nana biasanya tidak menyebabkan gejala. Jumlah
yang besar dari cacing yang menempel di dinding usus halus
menimbulkan iritasi mukosa usus. Kelainan yang sering timbul adalah
toksemia umum karena penyerapan sisa metabolit parasit masuk ke
dalam sistem peredaran darah penderita. Pada anak kecil dengan infeksi
berat, cacing ini kadang-kadang menyebabkan keluhan neurologi yang
gawat, mengalami sakit perut dengan atau tanpa diare, kejang-kejang,
Skoleks melekat
pada mukosa usuoid
Termaka
g dewasa dalam Telur be
sukar tidur dan pusing. Eosinofilia sebesar 8-16 %. Sakit perut, diare,
obstipasi dan anoreksia merupakan gejala ringan.

2.3.1.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja.
Pengobatan. Obat yang efektif adalah prazikuantel dan niklosamid,
tetapi saat ini obat-obat tersebut sulit didapat di indonesia. Obat yang
efektif adalah amodiakuin. Hiperinfeksi sulit diobati, tidak semua
cacing dapat dikeluarkan dan sitiserkoid masih ada di mukosa usus.
2.3.2. Hymenolepis diminuta

2.3.2.1. Hospes

Tikus dan manusia merupakan hospes cacing ini.
2.3.2.2. Epidemiologi

Hospes definitif mendapat infeksi bila hospes bila hosfes
perantara yang mengandung parasit tertelan secara kebetulan.

2.3.2.3. Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa berukuran 20-60 cm. Skoleks kecil bulat,
mempunyai 4 batil isap dan rostelum tanpa kait-kait. Proglotid gravis
lepas dari strobila, menjadi hancur dan telurnya bersama tinja. Telurnya
agak bulat, berukuran 60-90 mikron, mempunyai lapisan luar yang
jernih dan lapisan dalam yang mengelilingi onkosfer denganpenebalan
pada 2 kutub, tetapui tanpa filamen. Onkosfer mempunyai 6 buah kait.
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Hospes
perantaranya adalah serangga berupa pinjal dan kumbang tepung.
Dalam pinjal, telur berubah menjadi larva sistiserkoid. Bila serangga
dengan sistiserkoid tertelan oleh hospes definitif maka larva menjadi
cacing dewasa di rongga usus halus.

2.3.2.4. Distribusi Geografik

Penyebaran cacing ini kosmopolit, juga ditemukan di indonesia.

2.3.2.5. Patologi dan gejala klinis

Parasit ini tidak menimbulkan gejala. Infeksi biasanya secara
kebetulan saja.
2.3.2.6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telurnya dalam tinja
sekali-sekali cacing dapat keluar secara spontan setelah purgasi.
2.3.2.7. Pengobatan
Prazikuantel merupakan obat yang efektif.
2.3.3. Dipylidium caninum
2.3.3.1. Hospes
Anjing dan manusia adalah hospes cacing ini.
2.3.3.2. Epidemiologi
Sebagian besar penderita adalah anak. Infeksi ini kebanyakan
terjadi karena bergaul erat dengan anjing sebagai binatang peliharaan.
2.3.3.3. Morfologi dan daur hidup
Panjang cacing ini kira-kira 25 cm. Skoleks kecil, berbentuk
jajaran genjang, mempunyai 4 batil isap dan rostelum dengan kait-kait.
Leher cacing pendek dan langsing. Bentuk proglotid seperti tempayan.
Tiap proglotid mempunyai dua perangkat alat kelamin. Telur biasanya
berkelompok di dalam satu kapsul yang berisi 15-25 butir telur. Cacing
dewasa hidup di rongga usus halus. Bila telur tertelan pinjal anjing,
maka terbentuk sistiserkoid yang tumbuh menjadi dewasa di usus halus
hospes definitif.
2.3.3.4. Distribusi geografi
Penyebaran cacing ini kosmopolit.
2.3.3.5. Patologi dan gejala klinis
Parasit ini tidak menimbulkan gejala.
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
2.3.3.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan proglotid
yangbergerak aktif atau menemukan kapsul telur dalam tinja.
2.3.3.7. Pengobatan
Prazikuantel dan prazikuantel merupakan obat yang efektif.
2.3.4. Echinococcus granulosus
2.3.4.1. Hospes dan Nama Penyakit.
Rubah, serigala,anjing (liar maupun peliharaan), kucing dan
karnivora lainnya adalah hospes cacing ini. Manusia dihinggapi
stadium larva Echinococcus dan menimbulkan penyakit yang disebut
hidatidosis.

2.3.4.2. Epidemiologi
Hidatidosis penting di daerah dengan ternak domba dan yang
berhungan erat dengan anjing. Misalnya di Belanda dan selandia baru.
Akibat hidatidosis terhadap sosio ekonomi dinilaidari konsekuensi pada
manusia dan hewan, biaya yang dikeluarkan dan bermanfaat yang
dihasilkan dari program kontrol.

2.3.4.3. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa berukuran 3-6 mm, yang melekat pada vilus
usus halus anjing dan hospes definitif lainnya. Skoleksnya bulat,
dilengkapi 4 batil isap dan rostelum dengan kait-kait dan mempunyai
leher. Cacing ini mempunyai satu glotid imatur, satu proglotid matur
dan satu proglotid grafid. Proglotod terminal adalah paling lebar dan
paling panjang. Telur dikeluarkan bersama tinja anjing atau karnivora
lainnya. Bila telur tertelan oleg hospes perantaran yang sesuai seperti
kambing, domba, babi, onta, dan manusia, maka telur menetas di
rongga duodenum dan embrio yang di keluarkan menembus dinding
usus, masuk ke saluran limfe dan perendaraan darah kemudian di
bawah ke alat-alat lain di dalam tubuh, terutama hati, paru, otak, ginjal,
limpa, otot, tulang dan lain-lain. Di dalam alat-alat itu terbentuk kista
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
hidatid. Ukurannya dapat mencapai sebesar buah kelapa dalam jangka
waktu 10-20 tahun.
Bila kista termakan anjing, maka di usus halus menjadi cacing
dewasa. Cara infeksi adalah dengan menelan telur. Telur cacing dapat
hidup sampai 7 bulan pada suhu sedang dan kondisi lembab. Di air dan
pasir yang lembab dengan suhu sekitar 300C, dapat hidup selama 3
minggu, 225 hari di suhu 60C, 32 hari di suhu 10-210C, namun dalam
kondisikering dan terkena sinar matahari langsung, telur hanya mampu
bertahan sebentar.

2.3.4.4. Distribusi Geografik
Parasit ini ditemukan di australia selatan, afrika, amerika
selatan, eropa, asia tengah, RRC, jepang , filipina, dan negara-negara
arab.

2.3.4.5. Patologi dan gejala klinis
Kista Echinocccus Granulosus tumbuh perlahan , sehingga
pasien dapat mengalami masa terinfeksi tanpa gejala. Gejala baru akan
timbul ketika terjadi beberapa hal, antara lain :
1. Desakan kista hidatid,
2. Cairan kista yang dapat menimbulkan reaksi alergi
3. Pecahnya kista, sehingga cairan kista masuk peredaran darah dan
menimbulkan syok anafilaktik yang dapat mengakibatkan kematian .
gejaja tersebut juga dipengaruhi oleh letak dan ukuran kista

2.3.4.6. Diagnosa
Saat ini diagnosis dilakukan dengan tes pencitraan dan uji
serologi. Tes pencitraan dengan memanfaatkan pemerikasaan radiologi,
ultrasonografi, CT scan, MRI. Tes serologi dengan ELISA,
imunofluoresensi indirek, serta imunoelektroforesis dan imunoblot.
Pemerikasaan hemaglutinasi indirek, fiksasi komplemen dan aglutinasi
lateks sudah jarang dilakukan. Walaupun biopsi kadang-kadang masih
di lakukan, resiko pecahnya kista menjadi kerugian metode ini.

2.3.4.7. Pengobatan
Berbagai macam terapi untuk kista ekhinokokosis dihati terdiri
atas pembedahan dan non bedah. Selam berpuluh tahun pembedahan
merupakan cara yang direkomendasikan. Saat ini , dengan tersedianya
kemoterapi yang ampuh terhadap E. Granulosus, memungkinkan
dilakukanya drainase perkutaneus kista hidatid di pandu USG atau CT
( puncture, aspirasi, injeksi, respirasi/PAIR). Intervensi pra dan pasca
kemoterapi dengan albendasol atau mebendasol memberikan manfaat
mengurangi resiko rekurens atau infeksi intraperitoneal akibet kista
yang pecah atau tumpah spontan atau saat pembedahan atau drainase
dnegan jarum.

2.3.4.8. Prognosis
Prognosis baik pada tipe unilokuler bila kista dapat dioperasi
dan diangkat tanpa cairan kista atau hydatid sand keluar di rongga yang
dioperasi.
2.3.5. Echinococcus Alveolaris
2.3.5.1. Hospes
Rubah, serigala, anjing (liar maupun peliharaan), kucing dan
karnivora lainnya adalah hospes cacing ini.
2.3.5.2. Epidemiologi
Infeksi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan tinja
anjing, terutama pada anak-anak. Upaya kontrol lingkungan juga
dilakukan dengan umpan yang di berikan antihelmintik terhadap anjing
liar, regulasi kepemilikan anjing, serta promosi pola hidup rendah
resiko penularan untuk manusia dan anjing.




 






















Bagan 2. Daur Hidup Echinococcus granulosus













2.3.5.3. Morfologi dan daur hidup
Cacing ini mempunyai bentuk sama dengan E. Granulosus,
tetapi ukuranya lebih kecil, yaitu 1,2-4,5 mm. Jumlah segmen
proglotidnya bervariasi 2-6, namun kebanyakan ditemukan memiliki 4-
5 segmen proglotid.
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus anjing yang
mendapat infeksi bila memakan binatang pengerat. Hospes
perantaranya adalah mencit ladang dan tupai tanah yang mendapat
infeksi bila menelan telur dari tinja anjing. Dalam tubuh hospes
perantara termasuk juga manusia, tumbuh larva yang disebut kista
hidatid. Kista ini berbeda dengan kista hidatid cacing E. Granulosus,
karena dapat menyebar ke alat dalam lainya dan telur cacing dapat
bertahan sampai suhu -500C.

2.3.5.4. Distribusi geografik
Penyebaran cacing ini sampai di Balkan, Rusia, Siberia, China,
Jepang, Alaska, Australia, Selandia Baru. Di Indonesia parasit ini tidak
ditemukan.
Cacing
2.3.5.5. Patologi dan gejala klinis
Kista hidatid tumbuh seperti tumor ganas. Skoleks tersebara ke
seluruh tubuh sehingga gejalanya lebih berat dari pada hidatidosis yang
di sebabkan oleh E. granulosus.

2.3.5.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan tes imunologi, menggunakan
koproantigen ELISA dan kopro-DNA dengan PCR. Pemeriksaan dapat
di lakukan pada pejamu postmortem maupun intra vitam, dan juga
datapat di gunakan sampel tinja. Sering kali di temukan sebagai lesi di
hati, dan karena terjadi infiltrasi ke organ-organ lain, juga sering di
diagnosis sebagai kangker hati.
WHO mendesain sistem klasifikasi klinis sebagai PNM (P=
masa parasit, N= keterlibatan organ lain, M= metastasis), dan terdiri
dari stadium I-IV.

2.3.5.7. Pengobatan
Pengobatan dengan albendazol atau mebendazol dilakukan
untuk membunuh parasit dan membiarkan absorpsi yang perlahanlahan.
Pada pejamu definitif, dapat diberikan prazikuantel yang masih
efektif untuk membunuh cacing muda dan cacing dewasa.

2.3.5.8. Prognosis
Walaupun infeksi cacing ini lebih jarang, bila tidak dilakukan
pengobatan yang adekuat atau mencukupi akan fatal pada 70-100%
penderita. Prognosis buruk dengan keadaan bertingkat-tingkat karena
sifat infeksinya yang menyebar cepat. Pada pengobatan jangka panjang
dengan antihelmintik, angka harapan hidup sepuluh tahun pada pasien
dapat menjadi delapan puluh persen.
2.3.6. Multiceps Spesies Parasit
2.3.6.1. Hospes dan nama penyakit
Anjing dan karnivora lain adalah hospes parasit ini. Penyakit
pada manusia di sebut senurosis (coenurosis).

2.3.6.2. Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa berukuran 40-60 cm, mempunyai skoleks
dengan skokleks dengan rostelum yang berkait-kait. Hidupnya di
rongga usus halus anjing. Hospes perantara cacing ini adalah ternak
(domba, kambing, dan herbivora lainnya), kadang-kadang juga
manusia. Infeksi pada hospes perantara terjadi karena menelan telur
yang keluar dengan tinja anjing. Onkosfer menetas dalam usus hospes
perantara dan masuk jaringan tubuh dan berkembang terutama di otak
dan sumsum tulang belakang. Disini larva berubah menjadi senurus,
yaitu gelembung yang mempunyai banyak skoleks.

2.3.6.3. Distribusi Geografik
Penyebaran parasit ini kosmopolit, terutama di negeri yang
banyak peternakan dombanya.

2.3.6.4. Patologi dan Gejala Klinis
Parasit ini dapat menyebabkan gejala otak seperti kesulitan
dalam berbicara ( afasia), lumpuh anggota badan (paraplegia),
hemiplegia, dan muntah-muntah.

2.3.6.5. Diagnosis
Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik
jaringan biopsi.


























BAB III

PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Pada umumnya cestoda merupakan cacing yang langsing memanjang dengan
bahan pipih seperti pita atau ikat pinggang. Karena itu dinamakan cacing pita, tubuh
cacing pita dibagi atas tiga bagian yaitu bagian kepala, bagian leher dan bagian
rangkaian segmen. Semua cestoda merupakan endoparasit, cacing dewasa berada
didalam usus vertebrata dan larva dalam hospes perantara. Penyebaran cestoda pada
populasi di alam, ada yang kosmopolitan dan ada yang penyebarannya dilakukan
secara tidak langsung oleh manusia. Karena penulalaran cestoda terjadi secara
langsung dan ada beberapa hospes yang terlibat dalam daur hidupnya, pencegahannya
sukar dilakukan.

3.2. Saran
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan terurama tergantung pada perbaikan
kebiasaan kebersihan, perbaikan sanitasi lingkungan, menghindarkan makanan dari
segala kemungkinan kontaminasi dan mengobati orang-orang yang terinfeksi serta
memasak daging dan air minum sampai matang agar terhindar dari larva cacing pita.
Makalah Parasitologi “CESTODA” (Cacing Pita)
































DAFTAR PUSTAKA

1. Safar Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran Edisi Khusus. Bandung : Yrama Widya,
halaman 180-182
2. Irianto Kus. 2009. Parasitologi Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan
Manusia. Bandung : Yrama Widya , halaman 103 - 112
3. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran edisi ke empat. Badan Penerbit FKUI. Jakarta: 2001.
Editor: Inge Sutanto, Is suhariah Ismid, Puji K Sjarifuddin, Saleha Sungkar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar