Namanya mungkin tak setenar
kawasan wisata Kepulauan Raja Ampat. Namun, tiga pulau terbesar di Distrik
Sorong Kepulauan: Ram, Soop, dan Doom, menyimpan potensi wisata yang besar nan
eksotis. Berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik, ketiganya menawarkan
keindahan pantai berpasir putih, gugusan karang, dan wisata sejarah yang sayang
dilewatkan begitu saja.
”Tiga gugusan pulau terbesar itu
merupakan potensi wisata yang potensial, tetapi belum dipromosikan secara
maksimal. Selain panorama alam dan peninggalan sejarah, banyak juga keunikan
yang tak ditemukan di daerah Papua Barat lainnya,” kata Sekretaris Distrik
Sorong Kepulauan Elizabeth Karambut di Sorong, Papua Barat.
Doom, pulau seluas 5 kilometer
persegi ini, dikenal dengan sebutan Dum, yang dalam bahasa suku Malamooi—suku
setempat—berarti pulau penuh dengan buah. Sukun adalah buah yang paling banyak
ditemui hampir di setiap rumah warga. Sukun banyak diolah dan dikonsumsi sebagai
makanan tambahan bagi warga setempat.
Doom memiliki peran penting
dalam membidani kelahiran Sorong sebagai pusat perekonomian terbesar di Papua
Barat. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Belanda membuat daerah
hunian awal sebelum menjejakkan kakinya di Tanah Papua awal 1900-an. Namun,
Belanda tak melupakan penataan yang baik saat membangun perkampungan di Doom.
Tata kota seperti itu hingga
kini masih bisa dilihat, seperti Kantor Hoofd van Plaatselijk Bestuur atau
Kantor Pamong Praja Kolonial Belanda, yang kini dihuni Taher Arfan (54). Selain
itu, ada juga penjara Doom, lapangan sepak bola, rumah kesenangan (tempat pesta
serdadu Belanda), dan Gereja Kristen Orange.
Belanda juga menyediakan
permukiman bagi masyarakat etnis Tionghoa, tangki air bersih, dan pembangkit
listrik tenaga diesel di tempat itu. ”Dulu, tenaga diesel membuat Doom lebih
maju ketimbang Sorong. Saat Sorong masih gelap gulita karena belum terpasang
aliran listrik, Doom justru terang benderang, hasil tenaga diesel. Hingga kini
alatnya masih terpasang dan berfungsi dengan baik,” kata Taher.
Hal lain yang cukup unik di
Doom, Anda bisa berkeliling pulau sekitar setengah jam dengan mengeluarkan Rp
30.000-Rp 50.000 untuk becak.
Menempuh perjalanan 15 menit
dari Doom ke arah utara, menggunakan perahu panjang, pengunjung akan menemukan
Pulau Soop yang memiliki bentangan pasir putih. Tidak ada kendaraan bermotor
atau becak di tempat seluas 2 kilometer persegi ini. Meski demikian, tidak
perlu khawatir karena cukup berjalan sekitar satu jam untuk mengelilingi pulau.
Tempat berpenduduk tak lebih
dari 100 orang ini tak kalah bersejarah. Serdadu Jepang pernah menempatkan
pasukannya di sini guna melakukan penyerangan ke Pulau Papua. Buktinya, bungker
pelindungan udara yang menghadap ke Bandar Udara Jeffman, Sorong, di sekitar
daerah Tanjung Lampu Jepang.
Jika ingin lebih puas melihat
hamparan pasir putih Papua Barat, perjalanan bisa dilanjutkan ke arah barat,
sekitar 30 menit, yakni ke Pulau Raam. Pulau yang dikenal dengan sebutan Pulau
Buaya—bentuknya seperti buaya bila dilihat dari udara—ini memiliki bentangan
pasir putih lebih besar ketimbang Pulau Soop. Hamparan pasirnya menambah cantik
keberadaan relief batu dan terumbu karang di bagian selatan pulau. Penyelam
bisa menyempurnakan perjalanannya dengan menikmati keindahan bawah laut Raam.
Mudah dijangkau
Tak sulit bila hendak berkunjung
ke tiga pulau itu. Dari Bandar Udara Eduard Osok, Sorong, wisatawan bisa
menggunakan jasa ojek motor atau taksi (angkutan kota) menuju Pelabuhan Sorong.
Bila memilih ojek, hanya ditarik Rp 15.000 per orang, sedangkan taksi tarifnya
Rp 5.000 per orang.
Dari pelabuhan, wisatawan
melanjutkan perjalanan menggunakan perahu panjang ke Pulau Doom. Tarifnya lebih
kurang Rp 20.000 sekali jalan selama 15 menit. Tarif yang sama diberlakukan
pemilik perahu bila ingin melanjutkan perjalanan ke Raam dan Soop.
Sayangnya, wisatawan tak bisa
menginap di hotel karena di ketiga pulau itu tak ada hotel. Tetapi, tak perlu
khawatir. Masyarakat umumnya mau menampung dengan tarif Rp 100.000 per orang
per malam. ”Wisatawan asing mulai datang sejak tahun 1970-an untuk bersantai
dan melihat keindahan terumbu karang di pinggir pantai,” kata Rudi (46),
pengemudi perahu panjang asal Maluku.
Tak hanya soal penginapan,
peninggalan sejarah itu kini juga terancam rusak. Di Dum, misalnya, rumah
kesenangan yang kini ditempati Telly Awom (50) tak terawat.
Telly mengatakan, di tempat
pesta para serdadu Balanda itu sudah tak ada lagi meja bar. Atap asbesnya, yang
dulu hanya digunakan kalangan kaya, bolong di sana-sini. Tinggal fondasi kayu
besi yang masih terlihat kokoh menopang bangunan bercat biru yang sudah kusam
tersebut.
Pemandangan lepas ke arah
Samudra Pasifik pun telah terhalang permukiman warga, yang muncul sejak tahun
1980. Bahkan, setelah sempat kosong selama enam tahun, banyak sarana penunjang
hilang entah ke mana. Meja putar di pinggir pantai hingga tempat mandi pinggir
laut tak meninggalkan jejak.
Keprihatinan serupa muncul saat
berkunjung ke Pulau Raam. Lurah Raam Djamin Arfak mengatakan, titik terpenting
potensi wisata terancam abrasi. Penyebabnya, empasan ombak keras, angin laut
utara, dan tsunami Papua Barat. Dikhawatirkan, keindahan terumbu karang dan
relief batunya akan hilang bila tak dilakukan rekayasa teknis.
Soop pun tak kalah merana. Marian
Kerayan (45), warga, masih ingat betul, terakhir kali dia melihat turis asing
datang ke Pulau Soop sekitar 12 tahun yang lalu. Saat itu, Sebastian, turis
asal Inggris, datang menikmati keindahan pasir putih Soop. ”Sebastian menjadi
yang pertama dan terakhir. Mungkin karena kurang promosi,” kata Marian.
Menurut Djamin, salah satu jalan
mengembalikan minat wisatawan untuk berkunjung ke tiga pulau di Sorong itu
adalah pembangunan infrastruktur, antara lain, moda transportasi, penginapan,
dan tanggul penahan abrasi. ”Bila bisa terjaga, bukan tidak mungkin akan
semakin banyak wisatawan datang. Sektor wisata bisa meningkatkan perekonomian
warga. Saat ini masyarakat masih menggantungkan hidup sebagai nelayan kecil dan
budidaya ikan air tawar,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar